Judul : Suami Pilihan
Penulis : Emilla Mayzakh
1. Kabut di hati Zaki
Aku menatap adikku yang duduk tenang di sampingku. Kalau bukan demi dia, aku malas pergi ke pesantren menemui gurunya. Tapi siapa lagi yang akan pergi sebagai walinya kalau bukan aku?
Papi kami pasti tidak akan mau. Dia terlalu sibuk dengan pacar - pacarnya, apa lagi papi menyalahkan adikku atas kepergian ibu. Ibu meninggal saat melahirkan adikku, tapi bukan salah dia kan? lebih parahnya lagi kakak laki - lakiku ikut - ikutan membencinya, membuat dia tidak betah di rumah. Dia terjerumus dalam pergaulan bebas, puncaknya papa marah ketika polisi menciduknya. Papa malu, lalu mengirimnya ke pondok pesantren, dan hasilnya adikku tampak aneh bagiku. Kalau di rumah kerjaannya menyendiri di kamar membaca sesuatu yang membuat telingaku sakit, bahkan kadang - kadang sambil menangis.
Aku menggaruk - garuk kepalaku yang terasa gatal karena kerudung yang aku pakai, rasanya semua kutu orang Indonesia berada di kepalaku.
“Gue lepas aja ya Zeck? Panas nih.”
“Mba cantik pakai jilbab.”
“Iya tapi gatel banget tau! Kayaknya semua ketombe orang - orang nempel semua deh di kepala gue. Lagian lo gak usah deh manggil gue Mba kaya penjual jamu langganan papi.”
“Mba sendiri manggil aku zeck. Nanti kalau di pesantren panggil aku Zaki yah Mba, lagian Mba pakai jilbab kan cuma beberapa hari aja selama ada di pesantren.” Zaki tersenyum kalem.
Mobil itu terus membawa para penumpang menuju terminal. Subuh dini hari Zaki membangunkan aku.
“Sudah sampai terminal Mba.”
Aku menguap lalu kami turun. Suasana masih gelap hanya beberapa lampu yang menyala.
“Mana pesantren kamu Zak?”
“Masih jauh, nanti menunggu mobil angkutan umum. Aku mau sholat subuh dulu, Mba bawa mukenah di ransel Mba tidak? Kita sholat berjama’ah ya.”
“Sholat?” Aku menahan tawa.
“Sholat itu wajib hukumnya bagi seorang muslim, bukankah Mba beragama Islam?”
“Papi aja gak sholat, terus Mas Anwar juga ngga kan? Lagian ngapain sih sholat?”
Zaki terdiam, dia mengerti betapa keluarganya sangat jauh dari agama. Kami tidak pernah puasa apalagi sholat. Ya, cuma Zaki yang sering melakukannya, itu pun setelah dia di pesantren. Kadang aku menyesali keputusan Papi memasukkan Zaki ke pesantren, seharusnya Papi bawa Zaki ke rehabilitasi, biar gak jadi aneh kaya gini.
“Ya sudah Mba tunggu aku sholat, aku sholat dulu.” Zaki pergi meninggalkan aku sendirian.
Aku menatapi tempat aku berada, kalau saja aku di rumah aku pasti masih tertidur dengan nyenyak. Beberapa kali aku menguap, perutku terasa lapar, sekali lagi aku mengeluh andai aku berada di rumah. Aku duduk di salah satu kursi terminal dan kembali tertidur.
Zaki membangunkan aku ternyata sudah pagi. Aku kembali menguap, aku sepertinya belum tidur beberapa hari.
“Mba cuci muka dulu.“
“Gue laper Zeck, biasanya Mbo Inah udah nyiapin sarapan terus nganterin ke kamar gue. Cari makan dulu yuk zeck! Lo gak mau kan, Kaka lo ini mati kelaperan?”
“Baiklah!”
Zaki mencari warung yang buka, kami berhenti di depan warung kecil, ternyata bener - bener masih kampung.
“Assalamu’alaikum Mba!” sapa Zaki ramah.
“Wa’alaikumusalam, Nak Zaki mau makan Nak?”
“Iya Mba satu aja.”
“Lo gak makan zeck?”
“Aku puasa, hari ini kan hari senin.”
“Anak yang cantik ini sodaranya Nak Zaki?”
“Iya Mba, dia kakak saya.”
“Oh…”
Aku menatap wanita berjilbab yang sedang membuat sarapan untukku itu. Aku heran sama semua wanita berjilbab itu, apa mereka tidak merasa kepanasan? Trus buat apa sih pake jilbab bikin ribet aja. Wanita itu tersenyum padaku sambil mungulurkan sepiring nasi yang udah dicampur ama lauknya, aku menatap Zaki.
“Ko kaya gini sih Zeck sarapannya?”
“Di sini gak ada sandwich. Makanlah Mba! Kita tidak boleh menolak rizki dari Allah.”
Kalo nggak karena kelaparan aku ogah makan makanan itu. Aku heran kenapa Zaki bisa tahan bahkan betah tinggal di tempat kaya gini. Gak ada mall, gak ada tempat dugem, pokoknya jauh dari kata menyenangkan bahkan cenderung membosankan.
“Mba udah berdoa sebelum makan?”
Aku tidak menggubrisnya. Selesai makan aku langsung pergi dari warung itu, Zaki mengejarku.
“Mba kenapa?”
“Lo tau kan? Gue paling gak suka kalo diatur - atur” aku menatapnya kesal.
“Aku hanya mengingatkan, karena cuma Mba orang yang peduli dengan aku, karena aku menyayangi Mba.”
Amarahku menyurut melihat wajahnya. Zaki tersenyum, aku buang muka.
“Mba tau, sejujurnya aku ingin Mba memakai jilbab selamanya. Aku tidak akan tenang kalau melihat Mba setiap malam keluyuran, kebut - kebutan di jalan raya. “
“Lo tuh jadi orang asing di mata gue, lo tuh berubah! Dulu lo gak pernah ngatur - ngatur kehidupan gue. Gue gak suka lo yang sekarang gak asik tau gak? Basi! Sok tua! Udah deh lebih baik kita kembali ke Jakarta aja, trus lo kuliah di Amrik sono biar gak jadi orang aneh di keluarga” aku hendak pergi, Zaki menarikku dengan lembut.
“Mba tau, aku menyesal kenapa tidak sejak dulu Papi mengirim aku ke Pesantren? Aku minta maaf, karena sudah membuat Mba tidak nyaman, tapi aku mohon Mba! Jangan dulu kembali ke Jakarta.”
“Baiklah tapi lo jangan lagi ngatur - ngatur gue! Ngerti?”
Zaki tersenyum.
Aku terus mengikuti Zaki menyusuri koridor - koridor pesantren. Entah sudah berapa kali salam yang Zaki balas atau dia sapa. Di depan sebuah ruangan kami berhenti, Zaki mengetuk pintu kamar itu.
“Assalamualaikum.”
“wa’alaikumussalam warahmatullohi wabarakatuh” jawabnya lembut.
Seorang gadis cantik berjilbab muncul dari balik pintu, dia lemparkan senyuman padaku.
“Ah… Cantik sekali gadis ini, wajahnya menenangkan seperti aromatherapy, senyumnya membuat orang damai di sampingnya, suaranya merdu, bahagia banget yang jadi pacarnya, tapi dia pasti sama membosankannya seperti Zaki yang bicaranya gak jauh - jauh dari kata haram, dosa, ama neraka” kataku dalam hati sambil terus memperhatikan tempat sekelilingku berdiri.
“Mas Zaki sudah kembali? Ini pasti Mba Danisa Nurlaila kan?”
Ajaib sekali dia tau namaku.
“Apa kabar Mba Nisa?”
Nisa? Enak sekali dia memanggilku dengan nama Nisa. Itu kampungan banget. Kalo anak buahku tau aku dipanggil Nisa, mereka pasti tertawa terbahak – bahak seperti syair dalam lagu panggung sandiwara. Mana ada ketua geng motor yang namanya Nisa? Lagian ngapain sih si Zaki ngasih tau namaku yang sebenernya? Seharusnya dia katakan Danis aja.
“Mba Nisa ditanya tuh” Zaki menyenggol lenganku.
Aku tersenyum sangat terpaksa ”Baik.”
“Zaki sering menceritakan tentang Mba Nisa, dia selalu memuji Mba dan begitu bertemu aku rasa semua omongan Zaki itu benar.”
Aku tersenyum mendengar pujiannya, senang sekali mendapat pujian dari temennya Zaki.
“Mba ini temenku, namanya Sarah. Mba akan tinggal dengan dia selama Mba berada di pesantren ini.”
“Apa? Tinggal bareng dia? Kenapa gak tinggal bareng kamu aja sih Zak?” Protesku.
“Pesantren ini punya peraturan, Mba tidak usah cemas, Sarah ini sangat baik.”
“Iya, tapi…”
“Aku titip Mba Nisa yah. Assalamualaikum” Zaki meninggalkan aku begitu saja.
Sulit dipercaya. Awas si Zaki! aku gak akan mau lagi kalo dia minta bantuanku, dia pikir dia siapa? Biarin aja dia dimarahin Papi.
“Mari Mba masuk” ajaknya.
Aku masuk. Ya ampun ruangan itu kecil sekali, mungkin empat kali untuk kamarku luasnya. Tidak ada poster, tape, TV, bikin sebel. Di kamar itu memang ada dua ranjang, dua lemari, dua meja belajar dan… Ugh banyak sekali tumpukan buku - buku dengan tulisan yang asing bagiku. Aku ingat, itu tulisan yang sama yang aku liat di kamar Zaki. Zaki pernah bilang buku tebal yang sering dia baca itu namanya Al-Qur’an.
“Mba lulusan pesantren mana?” Tanya Sarah yang membuatku kaget sekaligus terkejut. Aku ingin sekali tertawa mendengar pertanyaan itu, tapi aku mencoba untuk tetap tenang.
“Gue…e maksudnya aku kuliah.”
“Kairo atau Al-Azhar?”
Sumpah aku ingin sekali tertawa mendengarnya, kalopun aku kuliah di luar negri aku pasti memilih Amerika atau London atau Jerman, bukan Mesir.
“Di Indonesia aja.”
“Udah lama pakai jilbab?” Sarah menatapku penuh senyuman, membuatku kikuk.
“Belum lama kok, kalo lo…e maksudnya kalo kamu udah lama?”
“Sejak kecil aku sudah tinggal di sini, hanya kadang - kadang saja pulang ke rumah kalo lagi liburan, tapi entah kenapa aku lebih senang tinggal di sini.”
Aku duduk di tepi ranjang mengamati ruangan itu.
“Pacar kamu gak ngelarang kamu tinggal di sini?”
“Dalam Islam tidak ada istilah pacaran, takut dosa.”
“Jadi kamu belum pernah pacaran?” Tanyaku sedikit heran, gadis secantik Sarah belum pernah sekalipun punya pacar? Apa mata cowo - cowo pada siweran? Aku aja yang cewe, suka ama dia, atau jangan - jangan Sarah punya kelainan, tapi masa sih.
Aku sibuk dengan pikiranku tentang Sarah hingga suara adzanpun tidak kudengar.
“Sudah waktunya sholat zuhur Mba. Mari sholat berjama’ah di masjid.” ajaknya.
Aku terdiam, apa yang harus aku katakan? Mungkin kalo sama Zaki gak akan jadi masalah aku gak sholat, tapi sekarang Sarah yang mengajakku sholat. Kalo aku bilang gak bawa mukenah pasti di musholah ada banyak mukenah tersedia, masa aku bilang gak pernah sholat, gak tau bacaan - bacaan sholat, gak tau tata caranya, si Zaki pasti malu banget. Aduh gimana nih, kebiasaanku menggaruk kepala yang gak terasa gatal saat pusing membuat Sarah heran.
“Mba sedang berhalangan untuk sholat?”
Halangan? Maksudnya halangan apa? Masa sih sholat kaya rally motor ada halangannya segala, apa perlu aku tanya halangan apa yang Sarah maksud? Gak! Itu pasti akan terlihat bodoh di matanya, aku ini pakai jilbab masa gak tau halangan sholat?
“Mba Nisa tidak apa - apakan?”
“E… Iya gak apa - apa, aku emang lagi berhalangan untuk sholat, gak apa - apakan?”
Sarah tersenyum manis sekali kaya sari buah yang sering aku minum.
“Ya tidak apa - apalah Mba, namanya juga wanita, itulah toleransi dari Allah untuk kita para kaum wanita, kalau begitu aku pergi dulu, Mba istirahat aja pasti lelah” Sarah meninggalkan aku di kamar itu sendirian. Aku menghela nafas rasanya aneh setelah membohongi Sarah tadi, tapi sebenarnya halangan apa yah yang dimaksud Sarah?
Ponselku berbunyi terus, dengan malas aku mengangkatnya.
“Hallo!”
“Bos”
“Aduh… Ngapain sih nelfon gue? Kan udah dibilangin seminggu ini gue gak bisa diganggu lagi ada urusan penting.”
“Ada masalah gawat bos, gengnya Davin ngajak balapan nih. Dia minta ketemu bos dalam tiga hari ini kalo gak… Anak buah kita yang disandera bakal dibikin mampus.”
“Disandera? Maksud lo apaan sih? Trus mana si Iwan? Dia kan yang seharusnya bertanggungjawab.“
“Si Iwan juga disandera bos.”
“Aduh… Masa baru gue tinggal sehari aja kalian… Sudahlah biar gue yang ngomong sama Davin” aku matikan ponselnya dengan kesal.
Sebenernya apa sih mau Davin? Aku keluar dari kamar, aneh suasananya agak sepi pada kemana penghuni pesantren semuanya? Ah… tapi gak apa - apa malah ini baik untukku, aku gak perlu balas salam semua orang. Aku melangkah menjauhi komplek pesantren. Mataku tertuju pada sebuah bangunan mungil yang masih berada dalam komplek pesantren, bangunan itu mungkin ada tiga ruang namun tampak sunyi mungkin gak ada penghuninya. Aku mendekati bangunan itu lalu mencoba membukanya tapi pintu pertama terkunci, aku mencoba pintu yang kedua dan yap! Terbuka, aku tersenyum langsung masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu, aku langsung memencet serangkaian nomor dan langsung tersambung, aku menunggu sambil mendengar nada tunggu musik cadas yang membuat gendang telingaku mau pecah.
“Hallo Danis sayang!”
“Sayang - sayang kepala lo peang? Maksud lo apaan sih Vin nyandera anak buah gue?”
“Gue kan cuma nanya lo ke mana? Anak buah lo malah nyolot ya udah sekalian gue beri, emang lo sekarang lagi di mana sih?”
“Bukan urusan lo, sekarang lo lepasin semua anak buah gue!”
“Gak bisa gitu aja dong, lo bilang lo ada di mana biar gue susul.”
Masa aku bilang di pesantren? Gak lucu kan?
“Lo gak usah kesini, ntar kalo urusan gue kelar gue pasti pulang ko. Lo siap - siap aja biar kalo lo kalah gak bunuh diri.”
“Gue pegang nih janji lo.”
“Iya - iya bawel banget sih kaya emak – emak.”
Ku dengar telfon ditutup. Ah… leganya, aku tarik kerudungku lalu tiduran di kasur tak bertuan. Nyaman sekali rasanya, tapi panas sekali. Kucopot pakaianku hingga hanya mengenakan tanktop saja, Mulutku terasa asam, aku keluarkan sebatang rokok dari saku rokku dan kusulut. Asap pun mengepul, kalo Zaki tau dia pasti marah besar, dan menceramahiku ini itu, yang gak baiklah buat kesehatan, mencemari udaralah, pokoknya banyaklah bikin telingaku panas saja, tapi di ruangan ini aku bebas… Bebas melakukan apa yang aku mau.
Saat aku lagi tiduran sambil menghisap rokokku tiba - tiba seseorang masuk, aku terkejut sama seperti orang itu.
“Astaghfirulloh” dia segera memalingkan mukanya membelakangiku.
“Lo siapa?” tanyaku gak suka.
“Maaf ukhti seharusnya saya yang bertanya siapa ukhti ini? Kenapa berada di kamar saya?”
Mukaku merah padam, walaupun ada yang gak aku mengerti dari kata - katanya, terutama kata ukhti. Untung dia tidak melihatnya, aku malu sekali sudah masuk kamar orang tanpa permisi, eh… malah sok jadi tuan rumah.
“Sorry gue kira e… ini kamar adik gue” aku mengambil bajuku lalu segera kupakai.
Tiba - tiba seseorang mengucapkan salam dari luar.
“Assalamu’alaikum”
Orang itu tampak panik, dan membalas salam dengan gugup
“Wa…’alaikumussalam”
Pria tua berjenggot putih mengenakan sorban hijau di kepalanya masuk. Begitu melihatku, dia pun melakukan hal yang sama seperti yang pria itu lakukan membalikkan wajah sambil mengucapkan istighfar. Sebenernya mereka kenapa? Apa wajahku ada yang aneh? Pria tua itu langsung keluar diikuti sang pemilik kamar.
“Apa yang Abah lihat tidak seperti yang Abah bayangkan, bahkan ananda tidak mengenal wanita itu.“
Aku keluar sesudah menggunakan jilbabku, mereka menatapku, aku baru sadar pria pemilik kamar itu ternyata lumayan tampan tapi dandanannya seperti Zaki terlihat sangat aneh lalu aku menatap pria tua yang dipanggil Abah, wajahnya bersahaja dan jernih jauh berbeda dengan papi yang wajahnya lebih sering ditekuk dan kusut.
“Maafkan saya tuan. Saya fikir ini kamar adik saya.”
“Boleh Bapak tau siapa adik anak ini?”
Apa aku perlu bilang kalo aku ini kakaknya Zaki? gak! Zaki pasti malu punya kakak seperti aku, aku gak mau membuat Zaki bersedih tapi aku bilang apa ya… Apa aku bilang saja kalo aku ini sodaranya Sarah? Tapi apa mereka percaya? Pria itu kan udah liat aku ngerokok, mana percaya kalo aku ini sodaranya Sarah. Aduh… Kepalaku mulai terasa gatal namun aku mencoba untuk tidak menggaruknya.
“Nak!”
“Hah! Oh… E… Maaf saya melamun, saya harus pergi” aku langsung kabur meninggalkan mereka yang kebingungan tentang aku.
Aku menghela nafas lega, untung aja aku cepet kabur kalo nggak… bakal dapet masalah terus Zaki pasti marah dan malu
“Mba dari mana?” Tanya Zaki tiba-tiba, aku berbalik lalu tersenyum
“Eh…Zaki”
“Sarah bilang Mba pergi tidak pamit, dia cemas. Lain kali Mba bilang dulu sama Sarah aku kan tidak enak hati menyusahkan dia”
“Iya maaf, tadi anak buahku nelfon, katanya Davin menyandera sebagian anak buahku, si Davin emang kerjaannya bikin aku susah aja, aku tidak enak kalo Sarah tau kakak kamu itu ketua geng, kamu pasti malu makanya aku cari tempat yang sepi” aku berjalan diikuti Zaki yang berada di sampingku.
“Davin hanya cari perhatian mba aja, dari dulu kan dia suka sama Mba”
Zaki menatapku lalu tersenyum, hidungnya mencium sesuatu dari nafasku.
“Mba ngerokok?” Zaki berhenti tatapan matanya seolah mencurigai aku.
“Siapa bilang?” aku ikut berhenti.
“Nafas Mba yang bilang, aku kan udah bilang Mba merokok itu tidak baik untuk kesehatan, lagian Mba kan sedang memakai jilbab, rasanya tidak pantas kalo dilihat orang”
“seharusnya lo tau zeck, gue gimana. Gue kan udah bilang kalo gue gak mau pake jilbab, lo kan yang maksa gue trus sekarang lo nyalahin gue, makanya Mbo Inah aja yang disuruh kesini sebagai wali lo” kataku kesal.
“Jadi mba tidak ikhlas punya adik seperti aku? Makanya Mba, Mas Anwar dan papi lebih memilih Mbo Inah yang jadi wali aku?”
“Ya…nggak gitu Zak, kamu jangan ngomong kaya gitu dong aku sayang ko sama kamu, kalo kamu sedih mami pasti ikutan sedih, maafin aku yah Zak”
“Sudahlah, Mba tidak akan mengerti” Zaki berbalik tapi aku sempat melihat butiran bening di sudut matanya, dia meninggalkan aku. Rasanya ada yang aneh dengan sikapnya, kenapa dia nangis saat aku bilang kata mami? mungkin Zaki teringat mami, dia memang selalu merasa sendirian, dia selalu bilang kalo cuma aku yang menyayanginya, dan itu memang benar.
Papi selalu tidak punya waktu untuk anak-anaknya, setelah mami meninggal dunia, sikap papi berubah terutama pada Zaki. Saking bencinya, papi pergi dari rumah dan tinggal di rumah barunya, bahkan kabarnya papi menikah lagi tapi anak-anaknya tidak ada yang diundang, toh kami juga tidak peduli, yang ku dengar beberapa bulan kemudian papi cerai dan menikah lagi, entah sudah berapa kali papi kawin cerai setelah mami pergi, mungkin papi cape harus berurusan dengan kantor urusan agama atau kantor urusan agama yang gak mau menikahkan Papi lagi karena terlalu sering kawin cerai makanya papi memilih hubungan tanpa ikatan dan sekali lagi aku tidak peduli.
Mas Anwar tidak lebih baik dari Zaki, tapi mungkin aku bisa memahami kenapa Mas Anwar punya kecenderungan menyukai sesama jenis. Dulu pacarnya ketahuan berselingkuh dan itu menyakitkan karena pria selingkuhannya itu papi, Mas Anwar pernah bertengkar hebat dengan papi. Dia menyalahkan Zaki, karena mami Zaki pergi, kalo mami masih hidup papi gak akan selingkuh sama cewenya tapi toh akhirnya baikan juga karena Mas Anwar butuh papi lebih tepatnya masih membutuhkan uang dari papi.
Aku sebagai satu-satunya anak perempuan pun tidak jauh berbeda dengan kehidupan papi dan Mas Anwar, hanya saja aku tidak terjerumus seks bebas. Itu semua berkat Mbo Inah yang sering mendongengi dan wanti - wanti aku, dan itu aku ajarkan pada Zaki juga. Aku sering merasa kesepian di rumah, makanya aku memilih motor sebagai pelarianku, entahlah rasanya ada kebanggaan tersendiri saat aku berkumpul dengan orang-orang yang sama kesepiannya denganku, atau saat aku bisa lolos dari kejaran polisi. Dunia yang kujalani sangat menyenangkan, dunia malam yang penuh pesta dan hura-hura, namun aku pernah tertegun saat Mbo Inah bertanya seperti apa suami yang aku inginkan? apa seperti papi? tentu saja tidak. Pertanyaan itu masih sering terlintas diotakku kala aku sendirian.
Kehidupan Zaki lebih parah dariku, karena sering dimarahi papi, Zaki jadi jarang tidur di rumah. Dia lebih suka berkumpul dengan teman - temannya sambil minum alkohol hingga mabok, dan ujung - ujungnya dia terjerumus menjadi budak barang haram. Papi tidak pernah tau kehidupan Zaki dan parahnya lagi aku selalu memberikan uang setiap Zaki minta, padahal aku tau kalo uang itu digunakan untuk memperpendek umurnya. Zaki diciduk polisi saat sedang pesta shabu – shabu. Papi marah besar dan memasukannya ke pesantren dan hasilnya dia jadi orang asing dalam keluarga.
Malam ini kali pertamanya aku tidur di pesantren, rasanya memang aneh, aku benci suara Sarah yang merdu membaca Al-qur’an sama bencinya ketika Zaki yang membacanya di rumah. Untung aku bawa walkman, kusumbat telingaku dengan musik yang keluar dari walkman tersebut, aku yakin Sarah tidak tau, kan aku pake jilbab jadi gak terlihat dan aku tidak perlu lagi mendengar suara itu.
Aku bangun ketika matahari sudah bersinar dan itupun Sarah yang membangunkanku, padahal kalo di rumah Mbo Inah gak akan berani membangunkan aku. Aku mau bangun jam berapapun gak akan ada yang melarang tapi sekarang berbeda.
“Aku pergi dulu yah Mba, nanti Zaki akan kesini”
Aku mencoba tersenyum mengiringi kepergiannya.
“Assalamu’alaikum”
“iya…”
Aku kembali membaringkan tubuhku namun seseorang mengetuk pintu ketika aku hendak kembali memejamkan mata, dengan malas aku membuka pintu kamar,ternyata Zaki yang datang.
“Mba baru bangun?”
“Iya capek banget.”
“Ya sudah Mba cepet siap-siap, aku tunggu di sini yah”
Aku mengerutkan dahi.
“Emangnya kita mau ke mana? Rapatnya sekarang ya Zak?”
“Aku ingin memperkenalkan Mba pada pemimpin pondok pesantren ini, kebetulan beliau sedang ada di rumahnya dan beliau ingin bertemu dengan waliku.”
“Gak usah deh Zak, ntar aku malu - maluin lagi, lagian aku juga mau istirahat”
“Mba…tidak enak membatalkannya, ayolah mba…” rajuknya manis sekali
Aku menghela nafas berat padahal aku mau tidur lagi, cape habis menempuh perjalanan jauh, tapi gak enak juga kalo Zaki harus membatalkannya.
Zaki tersenyum melihat penampilan aku yang memang sedikit rapi mengenakan jilbab, mungkin kalo orang lain yang tidak mengenalku mereka akan berfikir kalo aku ini anak pesantren tapi aku kan anak geng
“Kenapa Zak? Ada yang aneh ya?”
Zaki menggeleng cepat sambil tersenyum.
“penampilanku lucu ya?”
“Tidak Mba, malah mba terlihat sangat cantik mengenakan busana muslimah itu”
“Tapi rasanya aneh sekali, panas”
Zaki menggandeng tanganku lalu menuntunnya, dia membawaku menjauhi komplek pesantren, kami berjalan beriringan, aku melihat wajah Zaki begitu bahagia.
“Kamu lagi seneng yah Zak?”
Zaki tersenyum ”Memangnya kenapa?”
“Sudahlah, sebenernya kita ada perlu apa menemui orang itu?”
“Nanti juga Mba tau”
“Sikap kamu mencurigakan, ada apa sih Zak?”
“Mba boleh aku nanya sesuatu?”
“Apa?”
“Mba ingin mati dengan cara bagaimana? Kecelakaan di jalan karena kebut - kebutan atau mati dalam keadaan beriman?” Zaki menatapku
Aku berhenti melangkah mencari tau maksud pertanyaan Zaki
“Kalo aku pasti milih yang kedua, makanya aku ingin mati di sini dan dikubur di sini juga” Zaki kembali melangkah, aku mengejarnya
“Maksud kamu tuh apa sih Zak nanya kaya gitu?”
Sekali lagi Zaki tersenyum.
“Dulu aku iri sekali sama Mba, aku sering bertanya kenapa mami membuka deposito atas nama mba senilai 10milyar? Mba pernah berfikir tidak? Kenapa bukan atas nama Mas Anwar atau Papi?”
Aku terdiam. Memang aneh kenapa mami melakukannya? Apa mungkin mami sudah merasa kalo papi bakal gak peduli sama anak – anaknya? atau mungkin karena aku hanya anak perempuan satu - satunya dalam keluarga? Kenapa pertanyaan itu baru menyadarkan aku?
“Ya mungkin karena aku cewe Zak, mami jadi takut kalo aku kekurangan”
“Yah karena Mba seorang wanita, mami lebih percaya Mba yang mengurus rumah dan menggunakan uang itu, mungkin kalo itu atas nama Mas Anwar sudah habis uang itu,”
“Mungkin juga yah Zak”
“Apa yang ingin Mba tuju dalam hidup ini? Apa Mba ingin terus seperti ini?”
“Entahlah, aku malas memikirkan tujuan itu, aku menjalani hidup seperti yang aku inginkan. Kenapa?”
“Mba tidak ingin berubah?”
“Berubah? berubah jadi apa?” kataku dengan setengah tertawa
“Berkeluarga, punya anak…”
Aku berhenti melangkah, Zaki menatapku
“Mba…”
“Aku gak pernah berfikir sejauh itu”
“Suatu saat Mba akan memikirkannya apalagi umur Mba sudah pantas untuk berkeluarga”
“Zak, sebenernya kamu punya maksud lain kan membawaku kesini? Bukan sekedar rapat wali atau sejenisnya kan? Ada apa sebenernya?”
“Aku ingin Mba mempelajari agama sepertiku,”
“Seperti Sarah?” tanyaku setengah tertawa
“Yah”
Aku tertawa terbahak - bahak, mana mungkin orang sepertiku bisa tahan hidup dengan keadaan seperti ini, Zaki kembali berjalan aku kembali mengikutinya
“Sorry Zak, abis lucu banget sih, aku tuh gak mungkin jadi seperti Sarah, aku gak bakalan betah dengan keadaan seperti ini, pake kaya gini aja terpaksa demi kamu”
“Aku tau, itu cuma keinginanku”
Sepanjang perjalanan Zaki terus diam, mungkin dia tersinggung dengan ucapanku tadi, atau dia kecewa karena aku tidak bisa menjadi apa yang dia ingin, tapi aku bener-bener gak bisa jadi apa yang Zaki mau, hampir mustahil kan? Zaki boleh minta apa aja dariku pasti aku kasih tapi kalo minta kaya gitu mana mungkin?
2. Perkenalan yang mencurigakan
Kami berhenti di depan pintu sebuah rumah yang tampak asri dan tertata rapi, bunga-bunga bermekaran di halaman ada pohon mangga di samping rumah, memang tidak sebesar rumah yang aku tempati tapi aku merasa kalo pemiliknya seorang yang mencintai keindahan, buktinya sepanjang mataku memandang semuanya terlihat sempurna.
“Assalamu’alaikum” seru Zaki .
Lama tidak ada jawaban dari dalam, kakiku sudah terasa pegal karena Zaki jalan kaki ke rumah ini, seharusnya kita naik apa kek, biar aku gak perlu capek gini
“Waalaikumsalam” jawab lembut dari dalam, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu, wajahnya bersinar seperti tersorot lampu senter, bibirnya menyunggingkan senyum pada kami, aku perkirakan mungkin umurnya lebih tua dari mami dikit atau mungkin sama, mami kan banyak melakukan operasi wajah, tapi yang berada di hadapanku benar-benar alami dan cantik.
“Nak Zaki, ini pasti nak Danisa? mari masuk”
“Terima kasih Umi”
Zaki masuk ke dalam rumah, aku sedikit merasa aneh kenapa wanita itu mengenalku apa aku seterkenal itu? Aku jadi teringat dengan Harry Potter, apa yang kualami seperti dia tapi aku kan gak punya tanda seperti Harry.
“Silahkan duduk dulu, Umi panggilkan dulu Abahnya yah”
“Terima kasih Umi.”
Wanita itu berlalu masuk ke dalam rumah.
“Wanita itu siapa Zak?”
“Itu istrinya “
“Oh…”
Seorang wanita yang lebih muda, mungkin seumuran Mas Anwar keluar menghidangkan aneka kue dan minuman hangat, dia tersenyum.
“Silahkan dicicipi”
“Terima kasih mba” ujar Zaki sopan.
Wanita itupun kembali berlalu seperti wanita yang pertama, semuanya serba membuatku tidak mengerti, ada apa sebenernya? Kenapa kami diperlakukan seperti tamu kehormatan atau memang seperti itu cara orang desa menghormati tamunya? Entahlah semua pertanyaan itu berputar - putar di kepalaku tanpa ada jawaban yang pasti.
Seorang pria tua berjenggot putih mengenakan sorban hijau melangkah diiringi istrinya, Zaki dan aku berdiri, wanita itu tersenyum
“Silahkan duduk” pintanya.
Kami semua duduk, aku ingat pria tua itu, pria yang sama yang ada di bangunan itu,apa mungkin dia tau kalo aku ini kakaknya Zaki lalu menghukum Zaki? Atau dia mau mengadu tentang kelakuanku waktu itu? Kepalaku kembali terasa gatal, perutkupun tiba-tiba terasa mual.
Zaki mencium tangan pria tua tersebut lalu kembali duduk di sampingku, jujur saja saat ini aku merasa sangat takut, memang mengherankan kenapa aku harus takut, aku kan gak salah apa-apa sama dia tapi aku benar-benar merasa takut.
“Ini kakak perempuan saya Bah” kata Zaki sangat sopan,
“Oh jadi dia?”
Zaki dan Umi mengerutkan dahi, mereka heran mendengar nada bicara Abah
“Abah sudah kenal dengan mba Nisa?”
“Belum. Hanya saja pernah bertemu, gimana Umi, cantik tidak kakaknya Zaki ini?” nadanya sedikit bergurau.
“Cantik, tapi Abah ketemu di mana?”
“Ada di suatu tempat”
“Aku harap kakakku ini tidak membuat masalah”
“Zaki sering bercerita tentang kamu”
Zaki menyenggol lenganku, akupun tersadar.
“Oh ya um…umi? Dia bilang apa aja?”
“Dia bilang kamu sangat baik padanya dan setelah melihatnya umi merasa ucapan Zaki itu benar, iya kan Bah?”
“Iya”
Aku tersenyum mendengar pujian itu, mungkin aku memang gila pujian, tapi gak salah kan kalo aku merasa bangga mendapat pujian dari seorang yang Zaki hormati?
“Oh iya Abah, Mas Amir tidak terlihat, apa masih di pesantren?”
“Iya, Amir masih di sana, sepulang dari kairo dia lebih senang tinggal di sana, jarang sekali dia pulang, ada kali seminggu sekali, tapi nanti kalau sudah menikah dia akan tinggal di sini. Kasihan Umi sendirian, Latifah dan suaminya kan bekerja semua, kalo nak Nisa apa kerjaannya?”
“Kerjaan? saya tidak bekerja”
“Umi lebih suka wanita yang mengurus rumah”
“Nak Nisa masih kuliah?”
Masa aku bilang di D.O sih, tapi kalo aku bilang udah lulus aku lulusan fakultas apa? trus kalo aku bilang di D.O mereka ntar nanya kenapa aku bisa di D.O? Masa aku bilang ketahuan kebut - kebutan dan jadi ketua dalam beberapa kali tawuran
“Nak Nisa…kenapa?”
“Aku gak kuliah”
“Kenapa?”
“Ya…ada masalah”
“Sudahlah tidak apa-apa, Umi tetep suka sama nak Nisa.”
“Ya… sudah, mari kita makan saja” ajak Abah
Abah mendekati Amir yang sedang membaca buku dekat jendela, dia duduk berhadapan dengan Amir, menyadari kehadiran Ayahnya Amir menyudahi aktifitasnya
“Umi mana Bah?”
“Ada di kamar”
Mereka saling diam, sunyi hanya terdengar alunan Al-qur’an yang sayup-sayup.
“Tadi siang gadis itu sudah kesini, semuanya persis seperti yang Zaki ucapkan, Umi sangat menyukainya, kalau kamu keberatan katakan saja”
“Abah menyukainya?”
“Pasti tidak nyaman mengenakan pakaian itu tapi demi Zaki dia melakukannya, Abah kasihan melihatnya”
Amir mencoba tersenyum
“Kalau punya pilihan lain Abah akan bilang sama Umi”
Ada namanya Sarah, tapi bukankah ini permintaan terakhir seseorang yang sudah Abah dan Umi anggap seperti keluarga sendiri. Amir hanya tau dari Abah tentang calon istrinya yang hidup bebas jauh dari agama, Amir pernah berkilah tapi hati Umi yang sudah mengasihi Zaki, terus membujuknya dengan alasan semua orang pasti bisa berubah, contoh nyatanya adalah Zaki.
Bukan salah Umi juga kalau menyayangi Zaki seperti menyayangi anak - anaknya yang lain, Amir di Mesir dan hanya Zakilah yang sering mengunjungi Umi, bahkan merawat Umi saat sakit dan Abah sedang keluar daerah, dan bukan salah Zaki juga kalau merasa nyaman berada di dekat Umi, entah sekedar bercerita tentang keluarganya atau tentang sesuatu yang masih belum dia pahami pasti bertanya pada Umi.
“Amir!”
Suara Abah menyadarkan lamunan panjangnya, sekali lagi Amir tersenyum
“Apa menurut Abah dia akan jadi istri yang baik untuk ananda?”
“Semuanya tergantung dari kamu mendidiknya, apa kamu tidak menanyakan cantik atau tidak calon istri kamu itu?”
“Kecantikan yang tampak tidak sepenuhnya benar”
“Kalau begitu kamu bisa menilainya, karena kamu pernah bertemu dengannya kemarin di kamar kamu” Abah berlalu masuk kamar, meninggalkan Amir dengan kebimbangannya.
Aku kembali memikirkan pertemuan tadi siang, rasanya ada yang aneh dengan pertemuan itu. Kenapa mereka menyinggung - nyinggung tentang pernikahan? apa mungkin Zaki mau menjodohkan aku dengan seseorang? Tapi untuk apa Zaki melakukannya? Dia kan tau bagaimana sifatku, apalagi kalo dipaksa kaya gini. Lagian orang-orang yang tinggal di sini bukan tipeku. Aku lebih suka dengan cowo yang bisa ngalahin aku saat balapan motor tapi yang jelas bukan Davin.
Tiba-tiba Sarah masuk dengan wajah yang sedikit muram. Ah…kenapa rembulan ini bersedih, membuat cahayanya redup dan tak terlihat, apa mungkin Sarah sedang punya masalah dengan pacarnya? Tapi dia kan tidak punya pacar atau mungkin dia ada masalah dengan keluarganya. Aku tanya tidak ya? tapi ngapain juga aku peduli, sodara juga bukan, temen bukan, anak buah bukan… tapi dia kan udah baik sama aku, sama Zaki juga masa aku gak peduli, aduh…bener-bener bingung. Tanya gak ya?
“E…kamu kenapa Sarah?”
Sarah tersenyum, ternyata senyumannya masih manis seperti biasa.
“Kamu sakit?” tanyaku seperti orang bego.
Sarah menggeleng sambil tersenyum, tapi wajahnya berbicara lain, aku yakin kalo Sarah sedang punya masalah dan masalah itu pastilah berat.
“Dulu waktu mami pergi aku juga seperti kamu, tapi life must go on kan?”
Sarah menatapku membuatku tidak enak hati.
“Mba pernah punya pacar?”
“Iya memangnya kenapa?” Aku serius memperhatikan wajah Sarah yang memang enak dipandang mata
“Bagaimana kalau Mba mendengar bahwa pacar Mba akan menikah dengan orang lain? Sakitkah hati Mba?”
Aku harus bilang apa? aku bahkan gak pernah merasa sakit hati, karena aku memang gak pernah diputus cowo-cowo aku. Aku yang mutusin mereka karena mereka gak asik lagi, tapi masa sih seorang cewe kaya Sarah diputusin cowonya? apa mata cowo itu udah buta mau melepas cewe seperti Sarah yang wajahnya kaya artis sinetron itu?
“Sebenernya kami tidak pernah pacaran, hanya saja sikapnya padaku yang membuatku berani berharap, seharusnya kalau dia tidak menyukaiku jangan beri aku harapan yang akhirnya dia hancurkan”
“Seharusnya kamu nanya sama dia, kenapa dia lebih memilih wanita itu dari pada kamu?”
“Dia bilang ini permintaan seorang ibu, dan aku tidak berani bertanya apa aku tidak pantas untuk diperjuangkan Mba? cintaku bener-bener tulus, aku terus saja menunggunya, bahkan aku menolak lamaran dari anak teman ayah hanya demi dia, apa aku begitu kurang pantas untuk bersamanya?” Mata Sarah berair, ini pertama kalinya aku melihat seorang wanita menangis karena cinta. Apa begitu jika seseorang yang mencintai dengan hati?
Ah…Sarah kasihan sekali, gadis sebaik dan secantik dirimu harus menderita hanya karena cinta padahal cowo kan bukan cuma dia seorang. Aku jadi pengen liat seperti apa sih tampang cowo yang udah bikin wanita seperti Sarah menangis? Apa secakep Tom Cruise atau sekeren Brad Pitt? tapi aku yakin tidak seperti mereka, selera Sarah pastilah orang yang dandanannya kaya Zaki, pake baju koko, sarung sama kopiah.
Sarah mengantarku tepat di depan kamar Zaki lalu dia pergi, aku menatapnya sampai dia hilang di tikungan.
Aku mengetuk pintu kamar Zaki agak keras. Lama aku menunggu baru Zaki membuka pintu, wajahnya terlihat seperti habis menangis, aku menatapnya dengan heran tapi bukankah itu udah biasa kalo Zaki sering menangis akhir - akhir ini dan kalo aku nanya pasti jawabnya inget dosa masa lalu.
“Seharusnya Mba ucapkan salam”
“Kamu habis membaca Al-qur’an?” Aku main nyelonong masuk ke kamar Zaki.
“Namanya mengaji Mba” Zaki mengikutiku tanpa menutup pintunya.
“Iya iya”
Zaki menatapku.
“Mba lagi ada masalah ya?”
“Zak kamu tau gak siapa pacarnya Sarah?”
Zaki mengerutkan dahi sambil terus menatapku.
“Memangnya Mba Sarah punya pacar?” Tanya Zaki persis kaya orang bego.
“Masa sih kamu gak tau Zak?”
“Demi Allah Mba, memangnya mba Sarah yang bilang kalau dia punya pacar? setauku Mba Sarah itu orangnya tidak pernah berdekatan dengan pria manapun. Mba jangan ngomong ini sama orang lain yah, takut jadi fitnah, kan tidak enak kalau Mba Sarah denger”
“Tapi Zak serius, semalem Sarah pake nangis-nangis segala”
“Mungkin Mba Sarah lagi sedih aja “
“Ye…kamu gak percaya Zak? Semalem tuh Sarah bilang tentang cowo itu ya…emang sih dia gak bilang cowo itu pacarnya tapi kan…”
“Mba tidak perlu mengurusi urusan orang lain”
Zaki menaruh sesuatu di atas meja.
“Aku ambil air wudlu dulu Mba” Zaki meninggalkan aku sendirian di kamarnya, kamar yang gak jauh beda dengan kamar yang Sarah tempati.
Aku menatap Al-Qur’an yang berada di atas meja, penasaran juga kenapa Zaki sering menangis kalo membacanya? Apa ada sesuatu yang menarik melebihi novel - novel tragedi yang pernah ada di dunia?
Aku mengambilnya dan kubuka halaman pertama, ternyata seperti yang kubayangkan, tulisan yang aneh, entah dari mana aku harus memulainya. Aku menghela nafas berat dan hendak menaruhnya kembali di atas meja ketika sesuatu benda jatuh dari salah satu halaman Al-qur’an, sebuah amplop putih yang bertuliskan KEPADA TUAN ZAKI ABDILLAH, aku mengerutkan dahi memungutnya, aku kembali menatap sekelilingku.
“Ini surat apaan? Jadi penasaran, Zaki marah gak ya kalo aku buka, aku buka aja deh trus aku selipkan lagi bereskan” Gumamku membenarkan tindakan yang ku lakukan.
Aku membuka lalu membacanya, di sana ada tulisan HIV/AIDS + dan entah tulisan yang tak aku mengerti, dengan beberapa kode kedokteran lainnya. Aku terkejut ketika di sudut atas tertulis nama adikku, tanganku gemetar hingga kertas yang aku pegang terjatuh, mataku terasa berkunang – kunang. Tubuhku rasanya lemas sekali dan tanpa terasa satu butiran bening jatuh dari sudut mataku.
Zaki masuk, dia menatapku, aku menatapnya dengan mata yang berkaca – kaca. Zaki menatap kertas putih yang jatuh di atas lantai lalu memungutnya, aku masih terus mengawasi gerakannya menunggu penjelasan dari Zaki, dia mencoba tersenyum sekuat mungkin tapi aku tau itu bohong.
“Kamu gak…gak mau jelasin ten…tentang surat itu Zak?” Air mataku tak terbendung lagi.
“Zak, katakan padaku itu bohong kan?”
Zaki sekali lagi mencoba tersenyum dia tidak berbicara sepatah katapun padaku, aku menggeleng tak percaya.
“Aku akan telfon papi untuk segera mengeluarkan kamu dari tempat ini, kita ke Amerika, aku yakin ada kesalahan saat memeriksa kamu atau testnya tertukar dengan yang lain bisa aja kan Zak” Aku hendak keluar tapi Zaki menarik lenganku dengan halus.
“Tidak perlu Mba, aku mau di sisa umurku terus memohon ampun pada Allah. Aku ingin di sisa umurku terus beribadah. Aku kan pernah bilang kalau aku ingin meninggal di sini dan di kuburkan di sini”
“Itu alasan kamu selalu menangis kalo mengaji?”
Zaki menangis terguguh lalu mengangguk.
“Setiap mengingatnya aku selalu takut, aku takut mati Mba, aku takut saat aku di panggil aku masih dalam keadaan kafir, aku juga selalu memikirkan nasib Mba, aku tidak akan tenang melihat Mba seperti ini, aku ingin Mba tidak menyesal sepertiku yang selalu menyesali diri.”
“Tapi Zak… kita harus berusaha kan? Aku akan bayar berapapun, kamu masih muda Zak, kamu gak boleh pergi”
Zaki tersenyum lalu menghapus air mataku.
“Aku ingin selalu bersamamu Mba, sungguh kalau Allah memghendaki aku ingin melihat keponakanku yang lucu-lucu, aku ingin keluargaku kembali ke jalan Allah, tapi papi membenciku, Mas Anwar juga. Jadi orang yang paling aku cemaskan adalah mba.”
Aku menatapnya tidak mengerti, kenapa Zaki tidak pernah mengatakannya padaku satu - satunya orang yang masih menganggapnya ada, kenapa Zaki harus menyimpannya sendirian?
Aku keluar dari kamar Zaki kakiku melangkah menjauhi komplek pesantren, di bawah pohon yang sepi aku berhenti, aku terjatuh di atas rumput dan tangisku tak terbendung lagi, aku menangis sejadi – jadinya, aku copot jilbabku dan kulempar.
“Ini semua karena aku, akulah penyumbang terbesar atas apa yang terjadi pada Zaki. Akulah yang selalu memberikannya uang untuk membeli barang haram itu, aku juga tidak bisa menjaga satu - satunya perjuangan mami. Aku yang salah, kenapa Zaki yang harus menerima akibatnya? Kenapa harus Zaki yang mengalaminya? padahal Zaki masih muda dan belum merasakan indahnya dunia” Gumamku di sela tangisan.
Malam menutupi kampung itu, dari kejauhan tampak lampu - lampu pesantren yang berkelap – kelip, sayup-sayup terdengar olehku alunan ayat Al-qur’an dilantunkan, kakiku melangkah mendekati komplek pesantren.
“Kalo di kamar aku pasti kembali menangis, Sarah kan lagi punya masalah, aku gak mau dia tau, tapi aku harus kemana?” aku berdiri terpaku di tempat sepi, air mataku kembali meleleh, aku segera menghapusnya namun tetap saja masih terus keluar.
“Assalamualaikum ukhti” sapa sebuah suara.
Aku segera berbalik, ternyata pria yang kamarnya pernah aku masuki tanpa izin dulu, aku segera menghapus air mataku, aku tidak sempat berfikir apa ukhti itu?
“Tampaknya ukhti sedang bersedih, kembalilah ke kamar, tidak baik seorang wanita keluar malam - malam” ucapnya dengan sopan lalu pergi berlalu, aku mengejarnya.
“Tuan tunggu!” seruku.
Pria itu berhenti lalu berbalik.
“Iya ukhti”
“Aku sungguh merasa tidak enak masalah waktu itu, maafkan aku”
Pria itu tersenyum manis sekali, semanis senyum Sarah.
“E… Sebenernya aku memang ada masalah, tapi aku gak enak masuk kamar, teman sekamarku aja lagi punya masalah, aku gak tau harus pergi ke mana, rasanya aku ingin menghilang malam ini.”
Pria itu diam dengan pikirannya sendiri.
“Kalau ukhti mau, tinggallah di kamar saya untuk semalam ini”
“Maksudnya apa? kamu boleh aja ngeliat aku ngerokok, tapi jangan kamu fikir aku ini wanita gak bener, nyesel aku minta maaf sama kamu” ujarku dengan nada kasar.
“Tolong ukhti jangan salah faham, hari ini saya akan pulang ke rumah, rasanya tidak tega melihat seorang wanita keluyuran malam - malam begini. Apa kata orang kalau tamu pesantren tidak dihormati dengan sebaik - baiknya”
Aku menatapnya, sepertinya pria ini serius.
“Baiklah”
Lalu kami berjalan beriringan, memang agak jauh karena pria itu selalu menjaga jarak denganku, suasana sepi.
“E… Aku belum mengetahui nama kamu, namaku Danisa kalo kamu siapa?” aku mengulurkan tangan.
Pria itu melipatkan kedua tangannya di depan dada.
“Tolong ukhti jangan salah faham, saya tidak bisa menjabat tangan ukhti karena ukhti bukan muhrim saya.”
Muhrim? apaan lagi tuh? tapi ya… sudahlah, aku menarik tanganku.
“Nama saya Amirullah Baharuddin”
“Nama kamu susah banget, aku panggil apa?”
“Amir”
“Baiklah, Amir terima kasih” aku tersenyum sangat tulus, itulah senyum tulusku yang pertama yang aku berikan pada orang lain.
Seseorang mengetuk pintu kamar membuatku terbangun, ternyata hari sudah pagi. Semalam aku memang tidur sangat larut, terus memikirkan Zaki dan keluargaku. Bagaimana reaksi papi dan Mas Anwar kalo mereka tau tentang penyakit Zaki. Sebuah salam menyadarkan lamunanku, aku langsung turun dan membuka pintunya tanpa mengenakan jilbabku. Aku terkejut, begitupun Sarah, dia menatapku dengan tatapan yang mencurigakan, antara marah dan heran.
“Mba Nisa!”
“Eh… Sarah, ada perlu apa?”
“Mas Amir ke mana?”
“E… Kamu gak berfikir macam – macam kan tentang aku dan Amir?”
Sarah tersenyum sangat tipis hampir tak terlihat olehku.
“E…Amir lagi pulang, dia mengijinkanku menginap di kamarnya, kamu sendiri ada perlu apa nyari Amir?”
Sarah terlihat gugup, mungkin tidak menyangka dengan arah pertanyaanku
“Mba semalam tidak pulang, saya cemas makanya saya mau lapor sama Mas Amir. Mba, bukannya hari ini Mba harus menghadiri rapat para wali?” Sarah mengingatkan tujuanku datang ke tempat terpencil ini.
Aku masuk dan mengambil jilbabku, kemudian pergi dengan Sarah. Sepanjang perjalanan kami banyak diam dengan pikiran masing - masing, aku sibuk dengan apa yang terjadi pada Zaki sedang Sarah sibuk dengan pikirannya sendiri yang aku tak tau dan aku tak mau tau, bagiku sekarang masalah Zaki sangat penting dari apapun.
Sepanjang rapat aku terus merenung, entah apa yang sedang dibicarakan saat rapat. Aku sibuk memutar otakku untuk menyelamatkan Zaki, aku akan bawa Zaki ke Amerika tanpa sepengetahuan papi, aku yakin kalo papi tau Zaki terkena penyakit itu papi akan melarangku bahkan papi mungkin akan membuang Zaki jauh - jauh dari kehidupan kami bahkan aku sangat yakin kalo papi lebih merelakan Zaki mati dari pada mengurusnya, padahal Zaki membutuhkan orang-orang yang menyayanginya untuk tetap memberinya semangat hidup.
Selesai rapat aku langsung menemui Zaki, begitu tiba di depan kamarnya aku terpaku, Zaki sedang mengaji dan aku sesekali mendengar Zaki berhenti dan terisak entah apa yang merasuki jiwaku saat itu. Aku merasa Zaki sedang melantunkan musik yang paling menyayat hati, sehingga membuat orang yang mendengarnya merasakan apa yang sedang Zaki rasakan, aku cepat menghapus air mataku namun entah kenapa mataku gak mau berhenti menangis, seolah - olah ada sebagian dari diriku yang tercabut dan terpisah. Aku berbalik. Mungkin Zaki mendengar isakanku hingga berhenti mengaji dan keluar.
“Mba Nisa!”
Aku segera menghapus air mataku dan berusaha tersenyum menyembunyikan kesedihanku lalu berbalik.
“Kamu udah membaca Al-Qur’annya?”
“Namanya mengaji Mba”
“Oh…iya mengaji.”
Suasana hening, Zaki melangkah diikuti oleh aku, di sebuah tempat yang lumayan sepi kami berhenti.
“Mba mau ngomong kan?”
Aku mengangguk pelan, mengumpulkan keberanianku.
“Mba udah menghadiri rapatnya, kita pulang yah Zak! aku janji aku akan menjaga kamu dengan sebaik-baiknya.”
Zaki tersenyum lalu menunduk. Aku tidak tau pasti apa yang sedang Zaki pikirkan saat itu, aku duduk di sampingnya.
“Mba tau, saat Mba menyetujui usul papi mengirimku kesini, aku sangat membenci papi, Mas Anwar dan Mba bahkan aku tidak mau melihat wajah Mba lagi. Saat itu aku merasa sendiri di dunia ini, aku tersiksa dengan peraturan tempat ini. Sekarang aku merasa tenang di sini, pulanglah Mba” Zaki menatapku sambil tersenyum, tapi aku tau itu senyum kesedihan.
“Zak, kita ke Amerika! Aku yakin kamu bisa sembuh, di sana peralatannya sudah canggih.”
“Pulanglah ke Jakarta! Terima kasih Mba sudah mau bersusah payah demi aku, sungguh aku sangat berterima kasih” Zaki berdiri dan hendak meninggalkanku.
“Zaki! Kenapa kamu tidak mau mencobanya? Aku selalu melakukan apa yang kamu inginkan sekarang kenapa kamu gak mau melakukannya demi aku? Kenapa zak?”
Zaki menatapku, air matanya meleleh.
“Kenapa Mba tidak mengerti juga? Aku tidak butuh dokter, aku hanya ingin mati dengan tenang dalam keadaan beriman bersama orang - orang yang menyayangiku. Jadi kalo Mba ingin pergi, pergilah!” Zaki berteriak di depanku. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat Zaki semarah itu, bahkan dulu saat dia pergi dengan paksa ke pesantrenpun dia tidak berteriak seperti ini. Saat itu dia hanya menunduk sedih, tapi sekarang dia bersikap seperti itu padaku, membuatku tambah sedih.
Aku langsung memeluk Zaki dari belakang dan menangis sejadinya, Zaki berhenti lalu berbalik.
“Aku hanya ingin tenang saat aku meninggalkan Mba. Kalo mba seperti ini aku tidak akan tenang Mba.”
“Kamu ingin aku melakukan sesuatu untuk kamu Zak?” aku menatapnya penuh harap, aku benar - benar ingin membuatnya bahagia sebelum dia pergi, aku ingin membuatnya merasa lega dan tenang tanpa beban saat pergi, aku ingin memberinya kenangan terakhir, aku ingin dia yakin bahwa aku masih selalu ada untuknya, aku ingin dia tau bahwa masih ada orang yang menyayanginya di dunia ini.
“Aku yakin, Mba tidak akan mau.”
“Katakan saja Zak,”
Zaki terdiam, membuatku penasaran saja apa yang sedang dia pikirkan dan apa yang ingin dia minta dariku? Apa sesuatu yang membuatnya bahagia dan ingin aku melakukannya?
“Zak, katakan saja, aku janji aku akan melakukannya untuk kamu.”
Zaki menatapku dengan tenang.
“Aku ingin Mba menikah dengan seseorang yang aku yakin bisa menjaga Mba.”
Aku tertegun mendengarnya. Hal itu tidak pernah terlintas olehku saat aku bertanya pada Zaki, untuk inikah Zaki membawaku kesini sebenarnya?
“Aku tau Mba tidak bisa melakukannya, karena pria yang aku percayakan itu tidak bisa kebut - kebutan, dia tidak bisa mengalahkan Mba di jalan raya, makanya pulanglah Mba ke Jakarta” Zaki melangkah meninggalkanku yang masih terpaku, mendengarkan permintaan Zaki.
Kalo Zaki tidak sedang sakit aku pasti sudah marah besar mendengar permintaan yang aku anggap agak gila. Zaki tau kriteria cowoku tapi dia nekat menjodohkanku dengan pria pilihannya, dan aku yakin pria itu pastilah dari kalangan pesantren tempat Zaki sekarang menuntut ilmu, pria yang membosankan yang selalu mengaitkan semua hal dengan dosa dan neraka, banyak aturan seperti Zaki. Lalu bagaimana reaksi temen - temenku kalo tau aku nikah karena perjodohan? Aku yakin 100% mereka akan menertawaiku habis – habisan. Ah… Zaki kenapa sih kamu minta hal yang sulit aku penuhi? Padahal kalo kamu minta yang lain aku pasti gak sepusing ini, aku lebih suka kalo Zaki minta mobil mewah atau berlibur keliling eropa, dari pada minta aku menikah dengan seseorang yang aku gak kenal dan belum tentu bisa menerima aku sepenuh hati.
Sarah terus menatapku yang tengah berbaring, mungkin dia ingin membahas kejadian saat aku tidur di kamar Amir, atau entah apa, kepalaku sudah pusing dengan penyakit Zaki ditambah lagi dengan permintaannya yang membuat kepalaku mau pecah dan mataku terus saja mengeluarkan air.
“Mba Nisa lagi ada masalah ya?”
“Nggak” aku menyeka air mataku
“Bertengkar sama Zaki?”
Aku tidak menjawabnya, rasanya aku tidak sanggup untuk mengatakan ‘iya’ pada Sarah
“Aku yakin Zaki tidak bermaksud menyakiti hati Mba Nisa. Zaki begitu menyayangi Mba, setiap kata-kata yang ia ucapkan tentang Mba, ia mengucapkannya dengan rasa bangga. Aku iri sama Mba. Mba begitu disayang oleh keluarga.”
Iri? Padaku? Yang benar saja, bahkan aku sendiri ingin berlari sejauh mungkin bahkan kalo bisa aku ingin menghilang dan bersembunyi dari pandangan dunia.
“Zaki cuma punya Mba di dunia ini. Satu - satunya orang yang Zaki pedulikan di dunia yaitu Mba, bahkan Zaki pernah bilang kalau Mba minta nyawa sekalipun akan Zaki berikan, sayang aku tidak punya adik sebaik Zaki”
Mendengarnya aku semakin menangis, Sarah benar hanya aku yang Zaki punya di dunia ini, hanya aku tempat Zaki mengaduh, hanya aku orang yang mengerti perasaan Zaki, bukankah mami menitipkan Zaki padaku? Sekarang apa aku akan tega membuat Zaki menanggungnya sendirian? Apa aku tega membuat Zaki merasa tidak tenang? Aku tidak akan tega, tidak selamanya!
3.Semua Demi Zaki
Mentari masih bersembunyi, ketika aku terbangun, suara Sarah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar seperti alunan musik yang paling indah di pagi buta. Aku beranjak dari tempat tidur lalu keluar dari kamar. Sarah sempat melirikku sebentar lalu kembali fokus pada aktifitasnya.
Udara segar memenuhi rongga dadaku, rasanya nyaman dan segar, aku menengadah ke atas. Langit masih hitam diterangi beberapa gugus bintang yang masih setia menemaninya, karena sebentar lagi sang surya akan muncul, menghilangkan keindahan malam. Aku masih ingat terakhir kali aku menatap bintang bersama - sama dengan papi, mami dan Mas Anwar, itu terakhir kali kami sekeluarga bersama, dan sekarang aku masih merasa keindahan yang sama.
“Mba mau kemana? Sekarang masih malam, masuklah Mba!”
Aku tersenyum menatap Sarah.
“Mba masih berhalangan?”
Aku gugup mendengar pertanyaan itu
“Maaf yah Mba, gara - gara aku tidur Mba jadi terganggu”
“Bukan itu Sarah”
“Setiap aku punya masalah besar aku selalu mengaji. Entahlah Mba, setiap aku bersedih hanya itu yang membuatku tenang, kalau Mba punya masalah yang berat apa yang Mba lakukan? Mengaji atau Berzikir?”
Mengaji? Berzikir? yang benar saja, kalo aku lagi punya masalah pastilah aku akan mengebut atau membuat onar di jalan raya, itu yang membuatku tenang.
“Mba!”
Aku tersadar.
“Maaf yah Sarah, aku benar - benar membuat kamu cemas padahal kamu sendiri kan lagi punya masalah” aku segera masuk kamar.
Zaki tersenyum melihat dandananku yang rapih, dia tersenyum seolah - olah tidak pernah terjadi sesuatu pada kami berdua. Sarah muncul dengan wajah segarnya.
“Terima kasih Mba Sarah karena mengijinkan Mba Nisa tinggal selama ini, aku mohon maaf sebesar - besarnya kalau Mba Nisa berbuat yang kurang berkenan di hati Mba Sarah.”
“Tidak perlu sungkan, senang berkenalan dengan Mba Nisa.”
“Mari Mba, Assalamualaikum” ucap Zaki berlalu diikuti oleh aku.
Kami jalan berdampingan, sesekali Zaki tersenyum padaku, membuatku semakin merasa bersalah.
“Nanti kalau Mba tiba di Jakarta, tolong hubungi aku yah, maafkan aku yah Mba tidak bisa pulang bareng.“
“Zak, kamu benar - benar ingin Mba melakukannya?”
“Lupakan saja Mba, anggap tidak pernah terjadi apa - apa, maaf sudah menyusahkan Mba”
“Apa kamu akan membenciku Zak?”
“Tidak. Aku akan tetap menyayangi Mba, aku akan mendoakan agar Mba diberi kebahagiaan selalu.”
Aku berhenti, Zaki menatapku heran.
“Ada apa Mba? Apa ada yang tertinggal?”
“Aku mau menikah dengan pilihan kamu.”
Zaki menatapku, lalu tersenyum ”Tidak usah”
“Hanya ini yang bisa Mba lakukan untuk kamu Zak, kamu boleh menolak uang Mba, tapi tolong jangan kamu tolak ketulusan Mba untuk membahagiakan kamu.”
“Aku tidak mau Mba merasa terpaksa.”
Aku tersenyum, andai Zaki tau kalo aku melakukan ini karena merasa sangat bersalah, tentu dia tidak akan mengijinkannya, dia selalu merasa kalo apa yang aku lakukan semuanya benar, dia akan berkilah kalo dulu aku tidak memberinya uang untuk hura - hura, tentu dia tidak akan ditangkap polisi dan masih hidup menumpuk dosa, tapi sekarang dia merasa ketenangan di tempat terpencil ini, dia merasa kebahagiaan, bahkan dia ingin mati di tempat itu.
“Aku melakukannya demi kamu, asalkan kamu berjanji pada Mba, kalo kamu akan berusaha untuk tetap hidup, melihat anak - anak aku tumbuh” air mataku kembali meleleh, Zaki langsung memelukku.
“Aku akan selalu berusaha untuk tetap hidup, aku selalu ingin melihat Mba bahagia” bisiknya.
Rumah itu tampak sepi, hanya gemerisik dedaunan yang mengiringi langkah kami, dan terdengar pula alunan ayat Al-Qur’an dibacakan.
“Assalamualaikum” seru Zaki lalu menatapku yang tertunduk penuh keraguan, aku tidak ingin membayangkan bagaimana kehidupan aku nanti setelah menikah. Apa aku akan bahagia atau malah tersiksa? tapi bagaimanapun aku akan berusaha untuk bahagia, paling tidak aku punya alasan untuk bahagia.
“Mba masih ragu?” Zaki menepuk pundakku.
Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Aku sedikit takut, bagaimana kalo dia tidak menerimaku.”
“Mereka keluarga yang baik, itu alasan aku menyerahkan Mba pada mereka. Percayalah mba” Zaki meyakinkan aku ”Tapi Mba, kalau masih ragu sebaiknya jangan, kita pulang saja”
“Gak usah Zak, Mba yakin kok dengan keputusan Mba”
“Waalaikumsalam” Seorang wanita yang sering dipanggil Umi muncul dengan senyumnya yang membuat siapapun merasa nyaman, termasuk aku, Zaki langsung mencium tangan kanan wanita itu, lalu Zaki menatapku dan mengangguk, aku tidak mengerti maksud anggukannya itu.
“Mba jangan melamun saja, ayo cium tangan Umi.”
Aku tersenyum, ternyata itu maksud dari anggukan Zaki lalu aku mencium tangan wanita tua itu, aneh ada perasaan damai yang merasuki kalbuku saat kucium tangannya.
“Ayo masuk” ajaknya ramah.
Kamipun masuk ke dalam rumah, masih tetap sama, tenang dan sejuk, padahal dalam ruangan itu tidak ada AC. Itulah suasana desa, masih asri belum terkontaminasi polusi udara seperti di tempat tinggalku yang polusinya gila – gilaan.
“Duduk nak” pintanya sangat lembut. Wanita itu terus menatapku sembari terus tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapih alami.
“Abah kemana Umi? Kok tidak terlihat?”
“Biasalah, lagi keluar daerah.”
Zaki menatapku lalu berganti menatap wanita tua itu lagi, mungkin dia juga sama ragunya dengan perasaanku.
“Apa ada perlu dengan Umi nak?”
“Mba Nisa sudah setuju”
“Alhamdulillah” Umi mengusap wajah dengan kedua tangannya” Kira - kira kapan kami harus pergi menemui orang tua kalian untuk melamarnya?”
“Gak perlu Umi” selaku.
Umi mengerutkan dahi tidak mengerti, aku tidak mau papi tau. Karena kalo papi tau pastilah gak akan disetujui. ukuran papi untuk calon suamiku itu haruslah dari kalangan yang sederajat dengan keluarga kami, kalo papi tau calon suamiku itu hanya mengajar di pesantren pastilah papi tidak akan menyetujuinya, apalagi kalo tau alasanku menikah adalah demi Zaki, papi pasti akan membunuh Zaki.
“Kenapa tidak perlu? Kami harus meminta izin dengan baik - baik untuk menyunting anak gadisnya.”
“Oh baiklah nanti aku akan menghubungi papi, untuk itu sudilah kiranya Umi memberi tempat tinggal Mba Nisa sementara, sebelum pernikahan itu berlangsung.”
“Umi dengan senang hati menerimanya, tapi maaf rumahnya mungkin tidak sebesar rumah kalian.”
Zaki menyenggol kakiku ”Tidak apa-apa Umi.”
“Syukurlah.”
“Kalau begitu aku mohon pamit, aku titip mba Nisa Umi” Zaki berdiri.
“Ya sudah, hati - hati yah nak.”
Zaki kembali mencium tangan wanita tua itu.
“Assalamualaikum” sapanya sebelum pergi meninggalkan kami.
“Waalaikum salam” jawab Umi.
Aku menatap kepergiannya, semakin menjauh dan hilang di tikungan, tanpa terasa air mataku jatuh dari sudut mataku, aku segera menghapusnya, aku harus bahagia, aku harus kuat, demi ketenangan Zaki.
Aku baru tersadar kalo wanita itu terus menatapku, aku mencoba tersenyum senyaman mungkin.
“Ada apa Umi? apa ada yang aneh denganku?”
“Kamu cantik, Umi menyukaimu” pujinya, membuat wajahku memerah karena malu. Mungkin kalo Umi tau kehidupanku di Jakarta, dia tidak akan pernah bicara seperti itu, mungkin dia tidak akan mau menoleh ke arahku.
Aku buka jendela kamarku, terlihat bintang dengan udara yang menyegarkan, suara Umi mengaji terdengar merdu tapi membuatku tidak nyaman. Aku tekan nomor telfon Papi, lama baru diangkat.
“Hallo!” suara seorang perempuan yang mengangkatnya, bagiku bukan hal aneh lagi setiap menelfon Papi pastilah perempuan yang mengangkatnya.
“Aku ingin bicara sama Papi.”
“Papi lagi tidur. Ada pesan?”
“Cepet bangunin Papi, bilang Danis yang menelfon.”
“Lo tuh gak tau malu yah, gue kan udah bilang Papi lagi tidur gak bisa diganggu.”
“Perlu gue ulangi?”
Aku rasa perempuan itu kesal dan membantingnya ke atas tempat tidur
“Iya Danis, ada apa?”
“Siapa sih Pap cewe itu? Bikin bete aja.”
“Bukan siapa - siapa, kamu lagi di mana? Mbo Inah bilang kamu pergi sama anak sial itu dan belum juga kembali, apa dia menyakitimu?”
“Gak kok Pap. Aku baik - baik aja” aku terdiam.
“Lalu ada apa? Kok belum pulang?”
“Papi, aku akan nikah, tolong restui aku yah.”
“Kenapa terburu - buru Danis? Kamu hamil?”
“Kok Papi ngomongnya gitu sih.”
“Abis kamu tiba - tiba aja mau nikah, kenapa sih? Udah ada yang bisa ngalahin kamu balapan?”
“Pap aku serius, aku harap papi menyetujuinya.”
“Dia esmud?”
“Ayolah Pap, jangan samakan aku dengan bisnis.”
“Dia bukan orang kaya?”
“Aku mencintainya Pap. Aku belum pernah merasa mencintai seseorang seperti aku mencintainya, aku akan mati kalo berpisah dengannya” dustaku. aku tidak tau apa ini boleh dilakukan atau tidak karena bagiku semuanya boleh dilakukan, termasuk aku harus membohongi Papi, padahal aku belum pernah bertemu dengan pria itu sama sekali bagaimana aku bisa mencintainya bahkan mati kalo gak ada dia.
“Danis, dengerin papi, pria itu cuma mengincar harta kamu saja.”
“Pap, dia itu gak seperti perkiraan Papi. Dia sangat baik, bahkan dia gak tau kalo aku tuh orang kaya, dia mau menerima Danis apa adanya, tolonglah Pap.”
“Lalu bagaimana dengan Davin dan keluarganya?”
“Davin itu bukan tipe aku Pap, dia itu nyebelin selalu bikin aku pusing.”
“Terserah kamu sajalah, tapi Papi gak akan dateng. Papi sibuk”
Aku mendengar papi menutup telfonnya, mungkin papi marah?
Suara ketukan pintu membuatku tersadar, aku cepat membukanya, ternyata Umi yang mengetuknya.
“Makan dulu nak” ajaknya.
“Maaf yah Umi aku tidak mendengar ketukannya, tadi aku menelfon Papi”
“Lalu kapan dia datang?”
“Papi tidak bisa datang, dia sibuk sekali, papi bilang terserah padaku saja.”
“Bagaimana yah?”
“Memangnya kenapa Umi?”
“Sudahlah kita makan malam dulu, nanti Umi yang bicara sama Abah mengenai masalah ini, ayo makan.”
Aku mengatakan apa yang aku dan papi bicarakan pada Zaki, Zaki termenung memikirkan apa yang bisa dia lakukan nanti.
“Mba udah bilang sama Umi?”
Aku mengangguk pelan.
“Lalu Umi bilang apa?”
“Nanti Umi yang bicara pada Abah katanya.”
“Syukurlah. Mba tidak perlu cemas, Umi pasti melakukan yang terbaik.”
“Memangnya harus ada Papi yah Zak?”
“Tentu saja Mba, tapi biasanya bisa diwakilkan kok, aku sendiri juga belum paham benar.”
Tiba - tiba ponselku berbunyi, ternyata dari Davin. Zaki menatapku.
“Dari siapa Mba?”
“Davin, ini udah yang ketiga belas kalinya.”
“Ya sudah angkat saja.”
Akupun menerimanya ”Hallo!”
“Kenapa sih telfon dari gue gak pernah lo angkat? Ini tuh telfon gue yang…”
“Udah deh Vin cepetan, gue sibuk nih.”
“Lo ada di mana? Kita perlu ngomong tentang hubungan kita.”
“Hubungan? Hubungan apa? Lo lagi mabok ya?”
“Makanya kita perlu ngomong Danis, Lo gak mau lari dari gue kan?”
“Maksud Lo apa sih vin? Langsung aja deh gak usah berbelit - belit kaya Papi Lo yang pejabat itu, basi tau gak?” Aku menggeram kesal
“Gue denger dari Papi Lo, katanya Lo mau merit dan itu bukan sama gue, maksud Lo apa?”
“Maksud yang gimana maksud Lo?”
“Ya gue gak terima Danis”
“Urusan gue apa?”
“Lo kan tau, gue cinta mati ama Lo dan Papi Lo juga setuju.”
“Ya udah nikah aja ama Papi, beres kan?”
“Danis gue serius. Lo harus batalin pernikahan itu, atau…”
“Apa? Lo mau mampusin gue? Ayo kalo berani” tantangku.
“Gue akan bikin Lo jadi janda.”
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Lo pikir gue bercanda? Gue serius Danis.”
Aku langsung mematikan ponselku, dadaku terasa sesak mendengar ancaman Davin, rasanya ada yang mau meledak di ubun-ubunku.
“Davin bilang apa?”
Aku menghela nafas berat ”Dia mengancam aku.”
“Davin sangat mencintai Mba, tapi aku tidak bisa menyerahkan Mba padanya. Aku takut dia akan menyengsarakan Mba suatu saat nanti, saat ini hanya mas Amirlah orang yang pantas untuk menjaga dan menuntun Mba kembali kejalan Allah” Zaki membatin.
Aku menatap Zaki yang tertunduk, lalu membelai rambut yang tidak tertutup kopiah, Zaki tersenyum akupun membalas senyumannya.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Apa Mba akan membatalkannya?”
“Kenapa harus di batalkan? Kamu fikir hanya karena seorang Davin aku akan mundur? Tidak Zaki! Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangiku untuk menikah dengan pria pilihan kamu.”
“Kadang aku merasa kalau aku terlalu egois sama Mba, aku terlalu memaksa Mba.”
“Tentu saja tidak Zaki. Sekarang ceritakan bagaimana calon suamiku itu?”
“Yang jelas dia pria terbaik untuk Mba.”
“Bukan itu. Aku mau tau secara mendetail, dia sekolah di mana, pacarnya siapa aja, apa kesukaannya, pokoknya semua tentang dia.”
“Yang jelas dia orang baik.”
“Ih… Zaki nyebelin deh” aku kesal karena bukan itu jawaban yang aku mau.
“Dia lulusan terbaik Kairo University, dia tidak pernah punya pacar, itu kata Umi, dia paling suka mengaji, hafal Al-Qur’an, pandai dalam banyak hal.”
Aku tertegun mendengar penjelasan Zaki, dari gambaran Zaki kami bagai langit dan bumi, bagai siang dan malam saja. Aku bumi dan malamnya sedang dia langit dan siang, apa aku pantas menikah dengan pria terbaik yang Zaki pilihkan?
4. Ketakutan yang indah
Tiga hari Umi terlihat sangat sibuk mempersiapkan acara pernikahanku, dia hanya menyuruhku tetap berada di kamar. Mungkin kalo mami masih hidup, mami juga akan sesibuk Umi mengurus pernikahanku, tapi bukan itu yang aku pikirkan. Bagaimana kalo mereka tau aku bukan calon istri yang tepat untuk anaknya? Tapi apa yang harus aku katakan? Apa selamanya aku harus berbohong tentang diriku yang sebenarnya? Tapi kalo aku jujur rencana pernikahan itu terancam batal dan itu berarti mengecewakan hati Zaki, padahal Zaki hanya ingin melihatku menikah dengan pria itu sebelum maut menjemputnya.
Keramaian di dalam rumah itu seolah belum habis walaupun malam menjemput. Acara itu pastilah sangat penting bagi Umi karena beliau sampai harus turun tangan sendiri menyiapkannya.
Latifah masuk ke kamar Amir, suasana di luar masih sedikit ramai. Amir tersenyum melihat kakak iparnya, Latifah seolah mengerti kegelisahan adik iparnya.
“Sebenarnya Mba tidak rela kamu menikah dengan gadis itu. Dia jauh berbeda dengan kamu, bahkan terlalu jauh, Mba malah ingin kamu menikah dengan Sarah. Dulu kalian pernah dekat kan?”
Amir tersenyum kalem mendengar ucapan kakak perempuannya.
“Sarah itu gadis yang baik, dia hafal Al-Qur’an, sarjana agama pula, dia wanita solehah semuanya belum terlambat Amir. Kalau kamu memang ingin mundur, aku yakin Umi akan menerimanya apalagi kalau Umi tau ada gadis secantik dan sebaik Sarah untuk menggantikannya.”
“Aku tidak bisa menghancurkan hati Umi Mba. Aku yakin wanita itulah yang terbaik untukku. Mengenai Sarah, aku sudah menutupnya, aku hanya boleh mencintai istriku saja.”
“Tapi Amir…”
“Aku yakin sama seperti keyakinan Umi”
“Tapi apa kamu tidak kasihan melihat Sarah? Dia begitu sedih mendengar rencana pernikahanmu.”
“Aku yakin Sarah akan ikhlas menerima semuanya, bukankah Mba yang bilang dia gadis baik?”
“Kamu tidak ingin memperjuangkan Sarah? Pikirkan lagi keputusanmu.”
“Aku sudah memohon petunjuk pada Allah dan aku melihat wajah Umi, jadi aku yakin pilihan Umi adalah yang terbaik dari Allah untukku Untuk itu aku mohon doa restu dari Mba, agar pernikahanku berjalan sekali untuk seumur hidupku.”
Latifah meengangguk, dia tau kalau dirinya terlalu memaksa.
“Maafkan Mba yah Amir, tidak seharusnya Mba seperti ini, Mba pasti mendoakan kamu agar bahagia di dunia dan akhirat dan diberkahi Allah, menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah” doanya dengan tulus.
Zaki masuk ke dalam kamar lalu membukanya, dia tidak ingin ada fitnah kalo pintunya tertutup, aku tersenyum melihat kedatangannya, dia duduk sambil terus menatapku lalu dia mengulurkan sebuah kado padaku.
“Aku tidak bisa memberikan apapun selain ini, aku tidak punya uang seperti Mba, aku hanya punya doa semoga pernikahan Mba diberkahi Allah” Zaki menggenggam tanganku, seolah itu terakhir kalinya dia bisa menggenggam tanganku.
“Aku takut Zak. Aku takut mereka kecewa, aku takut mereka celaka, aku takut sekali. Rasa takutku sangat aneh, padahal aku sering menantang maut, tapi sekarang sangat berbeda Zak, aku merasa tidak pantas untuk menjadi bagian keluarga ini” aku menunduk.
“Mba… tidak ada yang tidak pantas, di hadapan Allah semuanya sama yang membedakan hanyalah amal kita. Tatap mataku Mba” Zaki mengangkat wajahku, aku menatapnya Zaki tersenyum.
“Mba adalah anugerah, keluarga ini sangat beruntung mendapatkan Mba. Mba sangat cantik juga punya ketulusan hati.”
Air mataku menetes, tapi Zaki langsung menghapusnya.
“Mba jangan menangis. Ini hari pernikahan Mba, hari bahagia mba, tolong aku mohon jangan ada air mata kesedihan untuk hari ini.”
Aku mengangguk cepat lalu memeluk Zaki. Jujur sebenarnya aku ingin Papi hadir sama Mas Anwar, tapi mereka tidak akan pernah datang.
“Non!” Seru sebuah suara yang sering aku dengar selama ini, itu suara Mbo Inah, lalu di belakang muncul Mas Anwar dengan stelan jas hitamnya. Aku tersenyum dan langsung memeluk Mbo Inah.
“Non cantik sekali dengan baju ini.”
“Ah… Mbo pasti menggodaku saja, padahal tampak sangat aneh kan melihat aku mengenakan pakaian ini.”
“Demi Allah Non, Non cantik.”
Aku menatap Anwar yang berdiri dari tadi, aku tersenyum lalu memeluknya.
“Lo kenapa?” Anwar melepaskan pelukannya.
“Apa tidak boleh memeluk kamu? Terima kasih mau datang jauh - jauh kesini.”
“Kalo bukan Papi yang nyuruh aku malas kesini, nih dari Papi” Anwar menyerahkan amplop putih padaku.
“Apa ini?”
“Itu hadiah pernikahan buat Lo. Lo tau gak si Davin shock, merengek - rengek minta ikut?”
“Tapi kamu gak ngasih tau alamatnya kan?”
“Tenang aja, Papi melarang gue ngasih tau. Gue heran, cowo seperti apa yang Lo pilih dan kenapa Lo bisa betah tinggal di kampung? Gue rasa Davin jauh lebih baik.”
“Dia sangat tampan iya kan Zak?”
Anwar menatap Zaki sekilas, lalu membuang muka seperti biasa.
“Kamu bisa kan bersikap seolah - olah kita ini keluarga yang harmonis?”
“Harmonis? Harmonis dari mana? Mana ada keluarga harmonis yang Papinya gak dateng saat putri satu - satunya akan menikah malah lebih mementingkan urusan bisnisnya?”
“Tapi paling tidak, aku ingin kamu sama Zaki terlihat akur, saat ini aja. Bisa kan?”
“Liat aja ntar.”
Mba Latifah masuk ke kamar.
“Kita harus segera ke masjid.”
“Oh iya Mba baiklah” suara Zaki penuh hormat.
Suasana masjid sudah sangat ramai ketika aku dan keluargaku datang. Para undangan menatap kami sambil sesekali mereka berkasak-kusuk. Umi tersenyum duduk di samping Abah. Aku lirik calon suamiku itu, langkahku terhenti melihat siapa calonnya. Saat itu rasanya aku ingin lari karena malu. Bagaimana mungkin orang yang pernah melihatku merokok, bahkan memasuki kamarnya tanpa izin adalah calon suamiku? Kepalaku tiba - tiba terasa pusing, perutku mual hendak muntah dan seluruh persendianku terasa lemas.
“Mba, ayo jalan” bisik Zaki.
Aku menoleh menatap wajah Zaki. Sekarang ketakutanku semakin bertambah, tapi wajah Zaki membuatku harus melakukan apa yang sudah kami sepakati.
Zaki membimbingku duduk di samping Amir, lalu Anwar duduk di sampingku sementara Zaki dan Mbo Inah duduk di belakangku. Umi menarik kerudung menutupi kepalaku dan kepala Amir. Sumpah saat itu aku merasa sangat tertekan bahkan apa yang sedang terjadipun aku tidak mendengarnya, aku nyaris pingsan, seolah kesadaranku sedang berada jauh dari ragaku, bahkan aku tidak sadar saat dia memasukkan cin - cin di jari manisku
“Mba ayo cium tangan Mas Amir” bisik Zaki
Aku menoleh, ucapan Zaki menyadarkan aku dari rasa ketakutanku saat ini.
“Dia sudah sah menjadi suami Mba”
“Apa? Apa aku melamun selama itu” pikirku.
Aku menoleh menatap Amir lalu mencium tangan kanannya, kemudian Amir mencium tangan Abah dan Umi bergantian akupun mengikuti apa yang dia lakukan.
Sepanjang resepsi aku terus menunduk malu, entah apa yang dia pikirkan tentang aku saat ini. Zaki pasti akan terkejut kalo aku ceritakan kejadian yang memalukan itu, dia pasti tidak punya keberanian menemui keluarga itu lagi, aku tidak mau menghancurkan perasaan Zaki.
Anwar menemuiku lalu aku pamit pergi menjauhi Amir.
“Gue harus balik sekarang, nih buat Lo” dia menyerahkan sesuatu padaku, aku menatapnya tidak mengerti.
“Itu hadiah pernikahan. Lo kan adik gue, apa kata mami kalo tau gue gak peduli sama Lo”
Saat itu aku ingin mencegah Anwar pergi, aku ingin bilang kalo Zaki sangat membutuhkan keluarganya terutama Anwar dan Papi, tapi aku terlalu takut mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
“Kok Lo diem aja sih, Lo gak bahagia? Kalo Lo gak bahagia Lo minta cerai aja. Gue yakin si Davin masih mau nerima Lo.”
Aku tersenyum ”Makasih, kamu mau jadi waliku.”
“ Ya udah, mana Mbo Inah?”
Aku mengedarkan pandangan mencari sosok Mbo Inah, ternyata dia sedang ngobrol sama Umi. Apa yang mereka bicarakan? Jangan - jangan Mbo lagi ngomongin kebiasaanku yang sering berurusan sama polisi? Aku langsung menemuinya.
“Mbo ditunggu Anwar.”
“Ya sudah, saya nitip Danisa yah Bu.”
Nitip? Emangnya aku kucing apa, dititipin?
Mbo Inah menggandeng tanganku, ternyata Anwar sedang bicara dengan Amir. Jangan - jangan Anwar lagi merayu Amir lagi. Pikiranku akhir - akhir ini jadi paranoid.
“Tuh Mbo Inahnya.”
“Mbo nitip Danisa yah, tolong jaga dia baik – baik. Kalo nakal, pukul aja.”
“Enak sekali Mbo bicara seperti itu, main pukul aja.”
Amir tersenyum mendengar umpatanku.
“Gue harap Lo jaga adik gue baik – baik. Awas kalo sampai adik gue menderita gue akan bikin perhitungan ama Lo.”
Aku langsung menarik tangan Anwar keluar, Mbo Inah mengikuti kami.
“Apaan sih pake ngancem dia segala. Jangan samain dia sama Davin dong!” protesku.
“Gue heran deh ama Lo, kok Lo mau sih ama cowo kaya dia?”
Aku berkacak pinggang mendengar omongan Anwar.
“Maksud Lo apa?”
“Dia bukan tipe Lo banget kan? Atau jangan - jangan Lo pake pellet?”
Aku mencubit perut Anwar.
“Auw…sakit tau!”
“Berarti Lo masih waras, enak aja bilang kaya gitu.”
“Lo mau tarohan ama gue? kalo Lo betah tinggal di sini selama tiga bulan gue mau mengabulkan tiga permintaan Lo, gimana? Tertarik gak?”
“Kayak jin aja, gue gak mau.”
“Lo takut kan?”
“Gue takut? Kemana aja Lo?”
“Deal?” Anwar mengulurkan tangannya.
“Deal.” Aku menjabat tangan Anwar.
Lalu aku mengantarnya keluar menuju mobil sedan yang dia kendarai.
Mataku seolah tak bisa berkedip melihat kamar yang akan kami tempati nanti. Kamar itu sangat indah dengan nuansa biru muda, ada beberapa buket mawar pastel dan mawar putih di samping pintu kamar. Umi tersenyum, dia membimbingku masuk, lalu mendudukan aku di depan meja rias. Umi mulai mencopoti aksesoris yang menempel di kepalaku.
“kamar ini Umi yang merias?”
“Kamu suka?”
Aku tersenyum lalu mengangguk.
“Anggap rumah sendiri yah, jangan sungkan pada Umi.”
Aku berbalik menatap wanita yang begitu baik padaku dan Zaki, lalu Umi memelukku dengan hangat, seolah tau kegalauan hatiku.
Amir masuk, Umi segera melepaskan pelukannya lalu mencium keningku dan keluar. Umi sempat tersenyum pada Amir sebelum menghilang di balik pintu. Amir mengunci pintu kamarnya lalu mendekatiku, dadaku berdetak kencang saat Amir mendekatiku, rasanya ada yang akan meledak di tubuhku.
“Aku tau aku bukan wanita yang baik untukmu, tapi aku mohon jangan beri tau Zaki masalah di kamar kamu waktu itu.”
Amir tersenyum membuatku semakin tidak menentu. Tiba - tiba dia membelai kepalaku yang masih berkerudung.
“Aku mau sholat. apa kamu mau sholat berjama’ah denganku?”
Hah? sholat? lagi? mereka gak cape apa sholat terus? My god harus sholat yah? Aku kan gak bisa sholat dan gak pernah sholat, tapi kalo aku bilang aku gak bisa nanti apa pikiran dia padaku? Gengsi dong aku kan pake jilbab. Apa kata orang nanti?
“Nis? Kenapa?”
Aku tersadar, lalu aku menatapnya.
“E… aku lagi berhalangan.” untung saja aku ingat kata Sarah. Yah halangan, aku rasa itu senjata yang pas untuk aku berkilah, tapi sampai kapan aku berhalangan toh nanti juga dia menyadari kebohonganku.
“Ya sudah, aku sholat dulu yah” Amir berlalu masuk kamar mandi. Aku dengar suara air bergemericik, sejenak perasaanku lega, kemudian dia keluar dengan wajah yang segar.
“Ternyata dia tampan juga, sayang dia gak bisa aku ajak kebut - kebutan di jalan, kan keren tuh” kataku membatin.
Aku segera mandi, sambil berpikir apa yang harus aku lakukan saat bersama dengan dia? Aku gak mungkin bersikap sama seperti kepada anak buahku, dia kan taunya aku ini gadis baik-baik?
Aku keluar dari kamar mandi setelah agak lama, rasanya segar dan nyaman, aku lihat Amir masih duduk di atas sajadahnya. Aku langsung naik keatas kasur, tiba - tiba aku menguap, aku rebahkan tubuhku di atas kasur untuk menghilangkan rasa leleh setelah seharian tadi berdiri menyalami para undangan. Pikiranku teringat akan sosok Sarah yang bersahaja, tadi siang aku tidak melihatnya di acara resepsi maupun di acara akad nikahku. Dia kemana ya? Apa dia masih sedih dengan masalahnya? Ah… Pria yang bodoh karena meninggalkan gadis sebaik dan secantik Sarah. Sarahnya juga sih seharusnya dia labrak saja gadis itu biar dia kapok.
Amir berdiri aku meliriknya, dia mengambil sesuatu dari laci meja, ternyata sebuah Al-Qur’an kemudian dia mulai melantunkan ayat-ayat yang membuat telingaku panas.
Apa menariknya benda itu? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal malam ini kan malam pertama kami. Apa dia begitu membenciku makanya dia tidak mau menyentuhku? Aku juga sadar kalo kami menikah bukan dasar karena cinta, aku menikah demi Zaki, sedang dia aku tidak tau demi siapa? Atau jangan - jangan dia tidak mau menyentuhku karena ada nama wanita lain di hatinya? Mustahil kan pria setampan dan sebaik dia belum punya pacar? Tapi kalo dia punya pacar kenapa dia menyetujui Pernikahan ini? Apa Zaki mengancam dia? Ah… Tidak mungkin! Zaki bukan orang seperti itu.
Aku tertidur sambil memikirkan masalahku.
Aku terbangun ketika kurasakan cahaya mentari mulai membuatku tidak nyaman, ternyata Amir sudah tidak ada. Kulihat jam yang ada di meja sudah menunjukan jam 8 pagi. Dulu di jakarta kalo aku bangun jam segitu itu udah paling pagi, tapi sekarang aku sudah terlambat. Aku beranjak dari tempat tidur, mataku tertuju pada tembok yang berisi banyak piagam penghargaan, ada piala - piala yang tersusun rapi di atas lemari.
Wah… Ternyata dia sangat pandai. Lulusan terbaik, anak baik, aduh… Aku semakin merasa tidak pantas untuk dia, kalo tidak ingat Zaki aku pasti sudah kabur, aku gak peduli dengan pernikahan kami, karena perbedaan kami sangat jauh.
Pertama dia lulusan terbaik, sedang aku kuliah pun tidak lulus bahkan SMA pun aku lulus karena mencontek dengan mengancam lagi. Kedua dia itu banyak dapat piagam dan piala sedang aku banyak mendapat surat peringatan bahkan lebih banyak dari piagam - piagam milik Amir kalo aku kumpulkan. Ketiga dia pandai ilmu agama sedang aku boro - boro pinter, ngerti aja gak. Terus yang keempat dia anak baik - baik dari keluarga harmonis sedang aku cewe malam yang suka ngebut, bikin onar, pokoknya jauh dari kata baik, apalagi aku berasal dari keluarga yang sangat tidak harmonis.
“Sudah bangun Nis?” suara Umi menyadarkanku dari pikiranku yang sedikit ngawur, aku berbalik dan langsung tersenyum, Ah… Wanita itu, andai dia ibuku.
“E… Amir ke mana Umi?”
“Dia udah pergi kerja.”
“Kok aku gak di bangunin sih?”
“Amir bilang kamu pasti lelah, jadi Umi biarkan saja kamu tidur pulas. Kamu puasa tidak hari ini?”
“Emang sekarang bulan puasa Umi?” Tanyaku persis seperti orang bego.
“Hari ini kan hari kamis, memang bukan bulan puasa, cuma sunah.”
Sunah? Apalagi tuh? Apa temennya sholat?
“Gitu ya, tapi aku tidak puasa, tidak apa – apa kan Umi?”
“Tidak apa – apa. ayo mandi lalu sarapan, setelah itu kita masak untuk makan siang, kamu suka makanan apa?”
“E… Apa aja, pokoknya apa yang Mbo masak aku makan.”
“Kamu sendiri bisa masak?”
Hah? masak? masak air aja aku gak bisa, jujur gak ya? kalo aku bilang bisa masak ntar Umi nanya masak apa? Terus ntar minta dibuatin, gampang aku beli aja di restaurant he…he…he… tapi di sini kan gak ada restaurant.
“Nisa?”
“Iya Umi.”
“Kok melamun?”
“Sebenarnya aku gak bisa masak, tapi aku bisa belajar ko.”
“Ya sudah, Umi tunggu.”
Aku mengangguk cepat, Umi tersenyum sambil terus berlalu.
Zaki tersenyum melihatku, rumah memang tampak sepi, Umi pergi ke majlis. Sebenarnya dia mengajakku tapi aku menolak alasanku tentu saja karena cape, aku sendiri heran kenapa aku selalu merasa tidak enak kalo berbohong sama mereka apa aku takut mereka mengetahui kebohonganku? Atau ada sesuatu yang lain yang membuatku merasa bersalah pada mereka?
“Ko sepi Mba? Umi kemana?”
“Lagi pergi.”
“Ada perlu apa memanggilku?”
“Halangan sholat itu apa aja Zak bagi perempuan?”
Zaki tersenyum karena aku bertanya seperti itu.
“Ko malah senyum sih Zak, udah cepet buruan dijawab.”
“Tanya saja sama Mas Amir atau Tanya sama Umi, mereka jauh lebih mengerti dari aku.”
“Yang bener aja Zak, aku malah gak mau mereka tau kalo aku ini nol dalam agama?”
“Mba mau belajar?”
“Kalo perlu aku ingin mengalahkan Amir”
“Sekarang dia suami Mba, panggilah Mas biar terasa enak didengar orang.”
“Baiklah tapi jawab dulu pertanyaanku.”
“Wanita yang sedang melahirkan sama wanita yang sedang datang bulan. Memangnya kenapa mba?”
”Gak apa - apa, trus kalo sunah itu apa?”
“Mas Amir punya banyak buku tentang agama, Mba pinjam aja.”
“Gak… gak… gak! Apa kata orang nanti, dia pasti berpikir kalo aku ini cewe tolol.”
”Mas Amir kan kalo siang bekerja, Mba bisa mempelajarinya saat Mas Amir pergi, jadi Mas Amir gak tau.”
”Mas Amir kan kalo siang bekerja, Mba bisa mempelajarinya saat Mas Amir pergi, jadi Mas Amir gak tau.”
“Oh iya ya. Kenapa aku mendadak jadi bego kaya gini ya?”
Zaki tersenyum melihat tingkahku.
Sarah berpapasan dengan Amir di depan masjid, Sarah mencoba tersenyum, Amir membalasnya, dia melihat wajah Sarah sekilas yang sembab.
“Apa kabar Mas?”
“Baik.”
“Maaf kemarin aku ada urusan, selamat yah Mas! Aku harap pernikahan Mas dengan Mba Nisa akan langgeng.”
“Terima kasih, Assalamualaikum” Amir berlalu dari hadapan Sarah, tiba - tiba saja air mata Sarah mengalir, namun dia cepat menguasai emosinya untuk tetap tenang.
5. Setetes Embun di hati
Selama seminggu aku menuruti saran Zaki untuk belajar agama, tapi banyak istilah - istilah yang tidak aku mengerti. Aku terpaksa menyusahkan Zaki, walau kadang - kadang aku merasa kasihan pada Zaki yang harus sering bolak - balik ke pesantren. Awalnya aku merasa kesal dengan sikap Amir yang tidak menyentuhku sama sekali malah lebih memilih Al-Qur’an, tapi sekarang aku sudah bisa menerimanya dengan ikhlas, walau dia jarang mengajakku bicara. Paling – paling apa kamu mau sholat berjama’ah denganku? Selama seminggu, itu saja kata - katanya, tapi aku sungguh-sumgguh tidak peduli, karena ada yang membuatku melupakannya. Yah, belajar agama, memang aku mempelajarinya bukan karena ketulusan atau karena aku ingin mengenal agama yang tertera dalam KTPku tapi aku melihatnya sebagai suatu tantangan yang harus aku taklukan, bahkan aku gak peduli dengan hukum apa yang pantas aku dapat.
“Umi, besok aku mau pergi ke kabupaten sama Zaki. Boleh tidak?”
”Kok ijinnya sama Umi?”
Aku mengerutkan dahi. Zaki bilang aku harus izin, kenapa gak bilang sih harus izin sama siapa? Bikin aku malu aja tuh anak.
“Izinnya sama Amir yah.”
“E… iya Umi. Nanti aku juga izin ko sama Amir, E… Maksudku Mas Amir, sekarang aku bilang dulu sama Umi biar gak nyariin aku.”
“Ya sudah.”
Aku melihat Amir lagi membaca buku, tapi yang jelas bukan Al-Qur’an. Dia tampak serius membacanya, aku mendekatinya, Amir menutup bacaannya lalu menatap aku.
“Besok aku mau ke kabupaten, aku mau membeli keperluanku.”
“Hari jum’at saja ba’da sholat jum’at, nanti aku antar.”
“Gak usah diantar, aku perginya sama Zaki kok” seruku cepat – cepat.
Masa dianter ama dia? Bisa-bisa dia tau kalo aku ini bodoh dalam hal agama
“Kenapa harus sama Zaki? Kamu kan udah punya suami.”
“E… Masalahnya… Aku… Aku masih malu jalan sama kamu. Boleh ya?”
Amir tersenyum, lalu dia mengambil sesuatu dari laci mejanya, beberapa lembar uang ditaruhnya di atas meja.
“Ambillah!”
“Tidak usah. Aku masih punya uang, aku pake uangku saja, kamu jangan repot – repot, aku cuma minta izin kamu aja.”
Amir menatapku, membuatku tidak enak hati, padahal uang itu pastilah tidak cukup, bukannya aku mau menyombong, tapi sekali belanja aku biasa menghabiskan jutaan rupiah, sedang Amir hanya memberiku beberapa ratus ribu saja.
“E… Baiklah, aku terima” aku mengambilnya lalu pergi berbaring di atas kasur.
Tibanya di pasar, Zaki membawaku menuju toko buku dan memilihkan aku beberapa buku.
“Zak, ada gak doa sholat yang pake CD? Aku gak ngerti dengan tulisannya, lebih baik aku mendengarkan lewat walkman aja.”
“Ya udah kita cari.”
Setelah beberapa toko kami datangi, akhirnya dapat juga. Aku melihat buku mengenai masakan dan langsung membelinya.
“Zak, ntar kita beli laptop yah.”
“buat apa?”
“Ya aku bosen aja di rumah”
“Emang di bolehin sama Mas Amir?”
“Tapi aku kan beli pake uangku sendiri.”
“Tapi Mba harus izin sama Mas Amir dulu, ntar Mas Amir tersinggung loh Mba.”
“Ribet juga yah Zak punya suami, harus izin mulu.”
Zaki tersenyum, lalu menarikku menuju butik busana muslim, aku hanya melihat-lihat. Tiba - tiba aku teringat Umi, akupun memilih beberapa potong pakaian yang bagus, tidak lupa aku memilihkan untuk Sarah dan Mba Latifah.
“Itu untuk siapa Mba? Ko belinya banyak banget?”
“Buat Umi, Sarah sama Latifah.”
“Emang di bolehin sama Mas Amir?”
“Aku kan pake uang sendiri Zak”
“Ya sudahlah terserah Mba saja”
“Zak, kita beli mobil yah. Aku kan cape harus naik turun mobil, trus aku akan bawa Mbo kesini untuk melayani aku, beres kan?”
“Mas Amir pasti tidak akan setuju. Mba tersiksa yah tinggal di sini?”
Sebenernya iya, aku udah gak tahan lagi tinggal di tempat terpencil itu. Aku ingin kembali ke kehidupan normalku dulu, kehidupan tanpa banyak aturan dan hal-hal yang baru bagiku
“Mba…”
“Kita pulang yuk Zak!”
Zaki menarik tanganku dengan lembut.
“Mba tidak bahagia tinggal di sini?”
“Aku butuh adaptasi, udah gak usah dipikirkan.”
“Mba tertekan kan tinggal di sini?”
“Nggak, Mba cuma butuh adaptasi aja, percaya deh sama mba. Buktinya Mba mau belajar sholat kan? Tapi Zak, kenapa sih kita harus sholat? Udah gitu sehari beberapa kali lagi, gak cape yah?”
“Ya gaklah Mba, sholat itu tandanya kita bersyukur sama Allah, bukankah kita mendapat banyak kenikmatan dari Allah? Apalagi sholat itu wajib hukumnya, nanti di akhirat akan dipertanyakan sholat kita.”
“Oh…”
Umi tersenyum melihat kedatanganku dengan Zaki. Zaki langsung mencium tangan Umi, aku terpaksa mengikuti apa yang Zaki lakukan.
“Kalo begitu aku langsung pulang yah Mba.”
“Makanlah dulu Nak!”
“Terima kasih Umi, aku sedang berpuasa hari ini.”
“Kamu puasa apa Zak? Ini kan bukan bulan puasa juga bukan hari kamis, iya kan Umi?”
“Aku punya nazar yang harus aku bayar.”
Nazar? istilah apalagi tuh
“Ya sudah hati - hati yah Nak”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku menatap kepergian Zaki sampai dia menghilang di balik pepohonan.
“Kamu sudah makan Nis?” suara Umi menyadarkanku, aku langsung tersenyum.
“Sudah Umi, Amir… E …maksudku Mas Amir belum pulang Umi?”
“Belum.”
“Aku beli sesuatu loh buat Umi sama Abah.”
“Apa?”
“Coba Umi tebak?”
“Umi tidak tau.”
Aku mencari kantong belanjaan yang berisi pakaian untuk Umi dan Abah, aku menyerahkan pada Umi, Umi menerimanya.
“Aku juga beli buku resep memasak loh Umi, nih.”
Umi tersenyum melihat buku yang aku tunjukan padanya.
“Amir tau kamu membeli barang sebanyak ini?”
Aku menggeleng cepat.
“Tapi aku gak pake uang dia kok Umi.”
“Lain kali kamu perginya sama Amir yah” Umi membelai pipiku.
“Tapi itu tidak mungkin Umi, aku tidak mau Amir tau kalo aku ini…” kata - kataku terhenti, Umi menatapku penuh keingintahuan.
“Katakan saja pada Umi” pintanya seperti sebuah hipnotis bagiku.
“Aku tidak mengerti agama sama sekali, aku takut kalo Amir… maksudku Mas Amir tau, dia akan menceraikan aku dan membuat Zaki sedih, padahal aku membeli buku - buku tentang islam.”
“Amir kan punya banyak koleksi buku di kamarnya.”
“Tapi itu untuk yang sudah mengenal agama, sedang aku kan belum, lagi pula banyak tulisan arab yang gak aku bisa bacanya”
Umi tersenyum penuh makna.
“Umi mau kan menjaga rahasia ini? Aku tau dia putra Umi tapi kan…”
“Kalo kamu mau belajar Umi tidak akan bilang sama Amir.”
Aku tersenyum gembira mendengarnya,tapi…
“Kenapa?”
“Umi tidak kecewa?”
Umi menggeleng cepat.
“Kenapa?”
“Selama masih bisa dipelajari dan selama kita masih diberi umur, kenapa tidak?”
“Sungguh - sungguh Umi tidak kecewa?”
“Tidak” Aku langsung memeluk wanita paruh baya itu, rasanya bebanku sedikit berkurang. Paling tidak aku tidak perlu berbohong lagi pada Umi, karena dia pasti mengerti kekuranganku, satu orang yang tak perlu kubohongi.
Amir masuk kamar, aku tersenyum melihat kedatangannya, dia melihat semua barang yang aku beli masih tergeletak di lantai, lalu tatapannya beralih pada laptop yang terpajang di atas meja. Aku mengambil baju yang tadi siang aku beli khusus untuk dia.
“Itu punya siapa?”
“Aku beli baju ini buat kamu. Gimana, suka gak?”
“Aku Tanya, laptop itu milik siapa?”
“Tadi siang aku membelinya. Aku bosan di rumah terus, makanya aku beli itu, gak apa – apa kan?”
“Semua barang itu kamu yang beli?”
Aku mengangguk cepat ”Iya, aku beli buat Mba Latifah juga…”
“Habis berapa semuanya?” Tanya Amir dengan nada yang kurang suka.
“Aku gak pake uang kamu kok”
“Aku Tanya, habis berapa semuanya?”
Aku menatap Amir tidak mengerti, seharusnya dia seneng aku gak membebaninya, tapi kenapa dia harus marah?
“Kamu dengar aku Nis?”
“Tiga puluh juta” kataku agak ragu.
“Tiga puluh juta sekali belanja?”Amir menatapku tidak percaya.
“Kalo kamu gak suka aku bisa balikin semuanya.”
Amir malah masuk ke kamar mandi, entah apa yang dia lakukan.
Malam harinya Amir terus saja diam, biasanya dia bilang, kamu mau sholat berjama’ah denganku? Tapi malam ini tidak, tapi aku gak peduli, aku malah mengambil CD yang tadi siang aku beli, aku mulai mendengarkannya dengan seksama.
Amir masuk ke dapur menemui Umi yang sedang memasak untuk sarapan, apalagi Abah semalem pulang dari luar kota, pastilah Umi menyiapkan semuanya.
“Nisa mana?”
“Masih tidur.”
Umi menangkap gelagat dari putra bungsunya itu, pastilah ada yang terjadi dengan kami.
“Kamu bertengkar dengan Nisa?”
“Tidak.”
“Bohong. Katakan saja.”
“Kemarin Umi lihat Nisa belanja?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Umi tahu habis berapa?”
“Tidak”
“Tiga puluh juta.”
“Wah besar juga yah” gumam Umi.
Amir mengerutkan dahi, melihat sikap Umi.
“Ananda rasa dia tidak akan bisa berubah.”
Umi menatap putranya lalu tersenyum bijaksana.
“Tidak boleh bicara seperti itu, bukankah mengembalikan Nisa kejalan Allah adalah ibadah?”
“Tapi dia tidak akan bisa Umi. Setiap hari dia hanya mendengar musik saja, sekarang dia pasti sibuk dengan mainan barunya, kapan dia mau belajar?”
“Dia bilang sama Umi, kalo kemarin dia membeli buku - buku tentang Islam, dia gak mau kamu tau. Jadi bersikaplah seolah - olah kamu tidak tau apa yang dia lakukan yah?”
“Tapi Umi…dia sangat boros, boros itu perbuatan setan kan?”
“Amir, kamu harus sabar, lagi pula dia membeli barang - barang yang bermanfaat. Umi tau, kamu pasti merasa tersinggung dengan sikap dia, tapi percayalah sama Umi kalo dia akan berubah perlahan.”
Amir merenungkan setiap ucapan Umi dan menyadari bahwa sikapnya salah, dia langsung tersenyum “Umi benar, ananda yang kurang sabar.”
Umi tersenyum.
Aku ke dapur sambil membawa buku resep yang aku beli kemarin. Umi tersenyum melihatku, aku matikan walkmannya.
“Pagi Umi”
“Kamu mau kemana?”
“Aku mau masak, ayo Umi?”
“Masak?”
Aku mengangguk cepat
“Amir suka apa Umi?..... E… maksudku Mas Amir suka makanan apa?”
“Buat Amir saja?”
“Ya… gak juga. Sebenernya aku merasa kalo Mas Amir itu lagi marah sama aku, Mbo Inah pernah bilang kalo seorang suami lagi marah, kita buat saja makanan kesukaannya, pasti langsung reda, bener gak Umi?”
Umi tersenyum lalu mengangguk.
“Memangnya, Amir marah kenapa?” Tanya Umi pura - pura tidak tahu.
“Memangnya dia tidak bilang sama Umi?”
“Tidak.”
Aku tidak percaya dia tidak mengatakan pada ibunya.
“Kamu sudah belajar agama?”
“Aku lagi belajar sholat”
“Bukunya mana?”
“Ada di kamar. Aku udah tau kok gerakan – gerakannya, cuma tinggal bacaannya aja, Umi dengerin yah. Bener gak, pertama berdiri sambil niat lalu takbiratul ihram terus baca doa iftitah lalu Al-Fatihah, baca surat Al-Qur’an, terus rukuk, bangun dari rukuk lalu…apalagi ya…oh iya sujud lalu duduk diantara dua sujud terus sujud lagi, lalu bangun lagi untuk rokaat berikutnya, bener gak Umi?”
Umi mengangguk cepat sambil tersenyum.
“Kalo begitu kita mulai masak yah?”
Aku cepat - cepat mengangguk. Ternyata tidak sia - sia aku semalam menghafalnya, rasanya ada banyak kupu - kupu yang beterbangan di hatiku melihat ekspresi muka Umi.
Amir masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam, tumben siang - siang begini dia sudah pulang. Aku tersenyum menyambut kedatangannya lalu mencium tangan kanannya dan kubimbing menuju meja makan
“Aku buatkan makanan kesukaanmu, coba yah.”
“Umi kemana?”
“Ke majlis ta’lim.”
“Kenapa tidak ikut?”
“Aku disuruh tunggu rumah, kamu gak lagi puasa kan?” Aku pergi ke dapur lalu kusiapkan makanannya, aku duduk berhadapan dengan dia, lalu kuambil sop yang sudah ku sediakan, Amir menatapku
“Sebagai permintaan maaf.”
Amir mengambil sendoknya lalu mulai menyeruput sedikit, aku terus memperhatikan ekspresi wajahnya.
“Gimana? Enak gak?”
“Kamu yang buat?”
Aku mengangguk ”Iya. Kenapa memangnya?”
“Rasanya aneh.”
“Masa sih? Tadi kata Umi udah pas kok, coba sini aku cicipi” aku mengambil sesendok lalu kumulai menyeruputnya, tidak ada yang aneh.
“Enak kok, jangan - jangan lidah kamu lagi yang ada masalah?”
“Masa? Coba.”Amir kembali menyeruputnya
“Oh iya yah, sekarang sudah pas. Mungkin bibir kamu mengandung bumbu yang melezatkan setiap makanan yang aku makan.”
Aku mengerutkan dahi ”Gak lucu” aku hendak pergi, namun tanganku ditarik dengan lembut oleh Amir.
“Ada apa lagi?” Tanyaku masih agak sebel.
“Terima kasih karena sudah di masakin.”
Aku tersenyum ”Jadi permintaan maafku diterima kan?”
“Iya. Tapi jangan diulangi lagi yah.”
Aku mengulurkan tanganku menadah, Amir menatapnya.
“Sebagai tanda kalo kita udah baikan, ayo.”
“Seperti anak kecil.”
“Ayo dong.”
Amir hendak menjabatnya namun aku tarik duluan tanganku hingga dia mengenai tempat kosong.
“Gak kena” kataku penuh kemenangan.
“Sekali lagi” pinta Amir padaku
“Kalo gak kena jangan marah ya?” ledekku, aku kembali menadahkan tanganku
“Umi!” seru Amir. Akupun berbalik lalu dia menjabat tanganku
“Kena kan?” kata Amir puas karena sudah membodohiku.
“Ah….. Kamu curang.”
“Memangnya ada aturannya kalo harus jujur?”
Aku melengos melihat Amir yang tersenyum lalu dia kembali memakan makanan yang kubuat, sesekali aku meliriknya. Ah…ternyata Amir tidak seburuk dugaanku, aku kira dia akan marah besar karena masalah kemarin.
“Aku sungguh - sungguh minta maaf.”
“Udah selesai.”
Aku mengambil mangkoknya lalu ku bawa kedapur dan aku cuci. Saat sedang mengelap mangkok tiba - tiba Amir berdiri di belakangku.
“Aku juga minta maaf, seharusnya aku menyadari kalau kamu butuh adaptasi” bisiknya. Aku langsung berbalik ternyata wajah Amir tepat berada di depan mataku. Ah… Dia tampan sekali.
“Kamu mau maafin aku juga kan?”
Aku terpesona oleh wajah di depanku, rasanya banyak bunga - bunga yang bermekaran di hatiku melihat wajah Amir yang tenang.
“Nisa?”
“Iya?”
“Kamu kenapa? tadi kamu tidak mendengar ucapanku?”
“Denger kok, kamu minta maaf sama aku kan? Tenang aku pasti memaafkan kamu.”
“Ya sudah” Amir menyentuh pipiku, aku ingin sekali bertanya kenapa sikapnya padaku begitu baik tapi dia tidak mau menyentuhku sama sekali? tapi semuanya tertahan di tenggorokanku.
Umi pulang bersama Mba Latifah, aku tersenyum langsung mencium tangan kanan Umi, Mba Latifah menatapku akupun menyalaminya, Umi masuk ke kamarnya.
“Mba tunggu di sini yah aku punya sesuatu”
Aku masuk kedalam kamar, Amir yang sedang sibuk mengerjakan kerjaannya hanya sempat melirikku.
“Umi udah pulang?”
“Iya sama Mba Latifah” aku menenteng kantong belanjaanku lalu keluar menemui Mba Latifah.
“Ini buat Mba. Aku harap Mba menyukainya.”
“Apa dengan ini kamu ingin membeliku?” nadanya sinis.
“Maksud Mba apa?”
“Kamu pikir kami sekeluarga tidak tau siapa kamu sebenarnya?”
Aku mengerutkan dahi
“Nis!” seru Amir memenggilku, aku menoleh ternyata dia berada di ambang pintu.
“Ayo masuk ada yang ingin aku sampaikan.”
Aku pun mengangguk lalu masuk kamar. Aku duduk di tepi ranjang, tapi pikiranku masih pada ucapan Mba Latifah. Apa maksud ucapannya? Apa mungkin semua orang sudah pada tahu siapa aku ini? Seorang berandalan yang suka bikin onar, tapi siapa yang memberitahunya. Satu - satunya orang yang tahu ya cuma Zaki, tapi aku tidak yakin Zaki melakukannya.
“Jangan kamu masukan omongan Mba Ifa.”
Aku menatap Amir, yang benar saja? Kalo bukan karena udah ada Amir, aku pasti sudah menamparnya, enak sekali dia bilang aku ingin menyogoknya. Dia kira, dia siapa? Pejabat bukan, presiden bukan, ngapain aku melakukan itu pada orang yang punya banyak prasangka buruk pada orang lain. Padahal kan aku hanya beusaha bersikap baik, terserah dia mau terima atau tidak.
“Nis.”
“Sudahlah” aku berlalu masuk kamar mandi.
6. Sesuatu Yang Baru
Aku merasa sangat tenang berada di samping Umi. Dia mengajariku banyak hal baru yang gak aku ketahui, tapi aneh juga walau aku sudah banyak hafal doa – doa, tetap saja aku tidak menyukai yang namanya mengaji. Entah kenapa setiap kali aku mendengar Amir atau siapapun melantunkan Al-Qur’an, aku selalu merasa risih, telingaku terasa panas. Mungkin karena aku merasa kalo aku gak akan bisa mempelajarinya, tulisannya terlalu sulit untuk aku mengerti.
Sepuluh hari aku menjadi bagian dari keluarga yang selalu berlimpah kasih sayang membuatku lupa keluarga di Jakarta. Aku mulai menikmati kegiatanku sehari - hari, menghafal doa dari CD, bahkan aku sudah mulai terbiasa mengenakan jilbab. Kata Umi aku sudah bisa mempraktekan sholat yang aku pelajari selama ini.
Pagi itu aku membantu Umi menyiapkan makan siang, Umi menatapku.
“Boleh Umi bertanya padamu?”
“Tentu saja.”
“Umi tidak pernah melihat kamu keramas pagi hari.”
“Memangnya kenapa Umi?”
“Aneh saja, kalian kan masih pengantin baru.”
“Memangnya kalo pengantin baru harus sering keramas pagi yah Umi?”
Umi tersenyum mendengar pertanyaanku yang polos, karena memang sejujurnya aku gak mengerti. Dulu aku sering keramas padahal kan aku belum menikah waktu itu.
“Kalo lagi di kamar kalian berdua ngapain saja?” Tanya Umi menyelidik.
Aku berpikir sebentar mengingat - ingat apa yang kami lakukan.
“Banyak. Tapi biasanya Mas Amir mengaji dan aku mendengarkan walkman sambil menghafal dalam hati, memangnya ada apa Umi?”
“Umi sudah pengen menimang cucu.”
“Mba Latifah belum punya anak?”
“Latifah tidak akan bisa punya anak, dia pernah keguguran dan rahimnya harus diangkat karena membahayakan Ifa. Sebenernya Ifa pernah menyuruh Iman untuk menikah lagi, tapi dia menolak.”
“Wah… Setia juga yah Mas Iman.”
“Cuma kamu satu - satunya harapan Umi untuk punya cucu” Umi menatapku penuh harap. Aku merasa tidak enak hati, bagaimana mungkin aku bisa punya anak kalo Amir saja tidak pernah menyentuhku, apa sih kurangnya aku? Kata Zaki aku ini cantik, kata Davin juga, atau jangan - jangan Amir punya kelainan? Ah…tidak mungkin, tapi kenapa yah dia gak tertarik padaku?
“Nis!” Suara Umi membuyarkan semua lamunanku.
“Melamun apa?”
“Nggak kok Umi, ntar siang aku mau ke kabupaten, Umi mau ikut gak?”
“Mau beli apa?”
“Aku mau bikin kue untuk Zaki, boleh kan?”
“Perginya sama Zaki?”
Aku menggeleng cepat.
“Aku akan pergi sama Amir, aku gak mau dia marah seperti waktu itu.”
“Ya sudah hati – hati.”
“Umi mau menitip sesuatu?”
“Tidak usah.”
Amir masuk ke kamar. Aku segara mematikan walkmannya lalu kucium tangan kanannya.
“Umi kemana?”
“Di kamarnya, mungkin lagi istirahat.”
“Kamu udah sholat?”
Aku menggeleng
“Masih berhalangan?”
Aku mengangguk cepat
“Berapa lama biasanya kamu berhalangan?” Tanyanya tanpa kusangka-sangka, membuatku gugup.
“E… Ya gak tentu juga sih.”
“Oh…” Amir masuk ke kamar mandi, lalu keluar lagi setelah mencuci mukanya.
“Kamu bisa gak nganter aku ke Kabupaten?”
“Biasanya sama Zaki.”
“Jadi kamu gak mau?”
“Kamu gak malu jalan sama aku?”
“Ya udah kalo gak mau, aku juga bisa kok pergi sendiri.”
“Kapan?”
“Kamu bisanya kapan?”
“Gimana kalo hari ini?”
“Baiklah, aku siap - siap dulu yah.”
Umi melihat Amir lagi duduk di ruang keluarga, lalu mendekatinya. Amir tersenyum melihat ibunya.
“Nisa mana?”
“Lagi siap - siap di kamar.”
Umi menatap Amir dengan seksama, dia lalu tersenyum.
“Kenapa Umi melihat ananda seperti itu, sepertinya ada yang hendak Umi sampaikan pada ananda. Katakanlah Umi biar ananda bisa memperbaikinya.”
“Apa ada wanita lain di hatimu selain Nisa?”
“Maksud Umi apa? Ananda tidak mengerti?”
“Hari ini Umi bertanya padanya kenapa dia tidak pernah keramas pagi? Kamu tidak pernah menyentuhnya Nak?”
“Bagaimana aku mau menyentuhnya Umi kalau dia sedang berhalangan?”
“Oh… Begitu yah.”
Aku keluar menemui Amir dan Umi.
“Aku udah siap.”
Lalu kami pamit pada Umi dan pergi. Sepanjang perjalanan menuju jalan raya kami saling diam, tiba - tiba Amir menggenggam tanganku, aku menatapnya, Amir tersenyum.
“Kenapa?”
Aku menggeleng cepat
“Kamu bilang apa saja sama Umi?”
“Gak bilang apa - apa, aku cuma mau ke Kabupaten untuk membeli bahan - bahan membuat kue, aku mau mengunjungi Zaki, masa Zaki terus yang kerumah? Kasihan kan cape, apalagi dia lagi sakit.”
“Kamu sangat menyayangi Zaki?”
“cuma aku yang dia punya, apalagi mami menyuruhku untuk menjaga Zaki sebelum meninggal.”
“Apa kamu mau menikah denganku pun demi Zaki?”
“Kamu menyesal?”
“Apa pacar kamu tidak marah?”
“Aku tidak punya pacar”
“Tidak pernah?” Amir berhenti lalu menatapku.
“Sebenernya pernah, ada kali tujuh.”
“Oh…” Kami kembali berjalan menyusuri jalan yang rimbun oleh pepohonan, kalo di Jakarta aku gak bakalan mau jalan kaki hampir sekilo jauhnya dengan cuaca panas pake jilbab lagi, tapi di sini semuanya berbeda, walau cuaca panas tetap saja terasa sejuk, mungkin karena banyak pohon jadi udaranya segar.
Andai semua orang mau mengerti dan memahami pentingnya pohon - pohon itu, tentu udara Jakarta akan sama sejuknya seperti udara di sini dan polusi tidak akan setebal sekarang.
Pulang dari kabupaten, aku langsung tiduran di atas tempat tidur, rasanya cape sekali. Coba kalo bawa mobil sendiri pasti gak perlu jalan kaki dan kakiku gak akan terasa mau copot seperti ini.
“Sholat dulu Nis”
“Aku cape sekali, aku mau langsung tidur saja, lagian aku masih berhalangan.”
Amir menggeleng melihat apa yang aku lakukan, lalu dia mengambil air wudhu dan menjalankan kewajibannya untuk sholat.
Aku membuka mataku ketika kurasa mentari menyilaukan mataku, tapi rasa capeku masih belum juga hilang. Kepalaku terasa pusing, ah… aku ingat semalam aku belum makan malam. Tiba - tiba Umi masuk setelah mengetuk pintu dan aku persilahkan, Umi membawa nampan berisi sarapan dan segelas minuman.
“Kok dibawa ke kamar sih Umi. Aku kan bisa ke ruang makan sendiri.”
“Kata Amir semalam kamu mengigau terus, kamu tidak apa – apa kan?”
“Nggak kok Umi. Mungkin aku cuma masuk angin biasa aja, soalnya sejak siang tadi aku belum makan.”
“Sini” Umi memijiti kepalaku, lalu turun ke tengkukku, rasanya sangat nyaman. Belum pernah ada seseorang yang begitu perhatiannya sama aku, yang mengurusi aku saat aku lagi sakit, kalo di rumah paling - paling Mbo Inah akan memanggil dokter saja, kalo aku lagi sakit atau papa akan menawarkan berobat keluar negeri. Tapi sekarang berbeda, ada seorang wanita yang begitu tulus padaku walau aku sering merasa ketakutan bagaimana jika semua berakhir dan aku sudah terbiasa hidup dengan kasih sayang yang Umi berikan?
Setelah memijitiku Umi mengambil nampan yang berisi sarapan untukku. Ternyata semangkuk bubur, melihatnya selera makanku hilang.
“Makan sarapannya Nis, Umi sengaja membuatnya untuk kamu.”
“Sebenernya aku gak suka makanan bayi itu Umi.”
“Tapi ini baik untuk orang sakit, coba deh kamu pasti suka.”
Dengan setengah hati aku menerimanya, kalo bukan demi Umi yang sudah bersusah payah membuatnya untukku, aku pasti sudah membuangnya. Satu suap aku masukkuan kedalam mulutku, aku coba merasakan perlahan, ternyata tidak seburuk dugaanku.
“Bagaimana? Enak tidak?”
Aku mengangguk” Ini pasti pake kaldu buat bikin buburnya, iya kan Umi?”
“Kamu kok tau?”
“Tentu saja. Masa murid Umi gak tau?”
Umi tersenyum melihat ekspresi wajahku, lalu membelai pipiku.
“Umi merasa sangat bahagia. Allah telah memberikan seorang anak yang tidak bisa Umi miliki”
Aku mengerutkan keningku. Ada yang aneh dengan maksud kata itu, atau mungkin aku ini anak Umi yang terpisah makanya Umi sangat menyayangiku? Bisa jadi seperti itu, seperti cerita dalam sinetron yang sering Mbo Inah tonton.
“Kalo sedang makan jangan melamun, tidak baik.”
“Maksud omongan Umi tadi apa?”
“Dulu Umi ingin sekali punya anak perempuan, tapi Allah hanya mempercayakan Umi dua orang putra saja. Dengan adanya kamu di sisni Umi merasa mempunyai anak perempuan.”
“Umi kesepian yah karena sering ditinggal Abah?”
“Iya ,tapi Umi ikhlas.”
“Umi gak kecewa sama aku?”
Umi tersenyum.
“Aku senang tinggal di sini bareng Umi. Sungguh aku juga bahagia mendapat seorang ibu yang tidak pernah kumiliki, tapi aku sering takut bagaimana kalo Umi membenciku? Bagaimana kalo Mas Amir kecewa denganku?”
“Kalau begitu, kamu mau kan terus bersama Umi tinggal di sini? Jadi anak Umi selamanya?”
Aku tersenyum, belum pernah ada orang yang memintaku seperti itu.
Aku sedang membuka situs internet sambil mendengarkan doa - doa dari walkman, sedang Umi berada di kamarnya membaca Al-Qur’an, sebenernya Umi mengajakku turut serta, tapi aku menolak dan kalian tau pasti alasannya karena aku tidak suka mendengar alunan ayat - ayat suci itu.
Amir masuk ke kamar, tapi aku tidak melihat kedatangannya. Aku sedang asik dengan kegiatanku, tiba-tiba Amir menyentuh keningku membuatku kaget, aku segera mencopot walkmanku.
“Apaan sih! Aku kan udah berwudhu, jadi batal deh” aku beranjak menuju kamar mandi
Amir mengambil walkmanku lalu dia pasang di telinganya, dia tersenyum lalu cepat mencopotnya. Aku kembali ke kamar, Amir tersenyum padaku penuh makna membuatku bertanya – Tanya.
“Kenapa senyum - senyum? Ada yang aneh yah?”
“Kamu sudah baik kan?”
“Seperti yang kamu lihat, kita akan sholat bersama?”
“Kamu sudah tidak berhalangan?”
“Iya kata Umi sih aku udah boleh sholat, kita mau sholat sekarang?”
Amir tersenyum lalu pergi mengambil air wudhu dan kami sholat bersama. Ini pertama kalinya aku sholat, memang belum banyak surat dalam Al-Qur’an yang aku hafal, tapi bacaan sholatku sudah bagus kata Umi.
Setelah sholat Amir mengajakku makan malam. Aku baru tahu kalo Abah sudah pulang dan kami makan malam bersama, setelah makan Amir mengajakku berkumpul di ruang keluarga dengan Umi dan Abah. Abah memberiku kantong belanja yang masih baru.
“Apa ini Abah?” tanyaku sedikit heran.
“Abah membeli sedikit oleh - oleh untuk menantu Abah yang baik hati.”
“Ah… Abah pasti mengejekku.”
“Seharusnya kamu berterima kasih bukannya berprasangka buruk” ujar Amir menyadarkan kelupaanku.
“Terima kasih Abah.”
“Kata Umi tadi pagi kamu sakit, sekarang bagaimana keadaan kamu? Apa sudah baikan?”
“Iya berkat Umi yang begitu baik padaku.”
“Atau jangan - jangan kamu sedang hamil? kalian menikah sudah hampir satu bulan kan?”
Umi dan Amir saling berpandangan.
“Tidak Abah, aku hanya masuk angin saja.”
“Oh…”
Aku naik ke atas kasur sambil mendengarkan walkman, sementara Amir mengambil Al-Qur’an dan mulai membacanya. Saat Amir fokus pada kegiatannya itu aku bisa menatap wajah Amir yang menyejukkan. Andai Amir benar-benar mencintaiku, aku pasti sangat bahagia mendapat seorang ibu yang sangat baik seperti Umi. Aku mulai menguap dan sejenak memejamkan mataku yang terasa berat, tiba - tiba seseorang mencopot walkman dari telingaku, aku membuka mataku ternyata Amir, dia tersenyum.
“Kamu sudah selesai mengajinya?” aku melirik jam beker di atas meja, ternyata masih jam sembilan kurang dua puluh menit, dia membelai rambutku.
“Tumben sekali kamu cepat mengajinya, biasanya lama.”
“Ada yang menarik perhatianku, yang harus aku lakukan” dia tersenyum membuat jantungku berdetak lebih kencang.
“Ya sudah lakukan saja aku mau tidur” aku membalikkan tubuhku namun dicegah Amir
“Kenapa lagi? Aku tidak akan mengganggu kamu.”
“Apa kamu marah padaku?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kamu membelakangiku?”
“Iya aku minta maaf, maukan maafin aku?” aku tersenyum.
Amir tidak menjawabnya dia malah terus metatapku dan perlahan mencium bibirku. Aku terpaku, lalu Amir melepaskan kecupannya, mataku terus menatapnya.
“Bagaimana?”
Rasanya aneh, padahal aku pernah melakukannya sebelum dengan Amir, namun sekarang terasa sangat menyenangkan dan indah.
“Mau kan kamu menjadi ibu anak - anakku?”
Apa dia akan bicara seperti itu kalo tau aku yang sebenarnya?
“Nis!”
Aku tersenyum begitupun dengan Amir, seperti inikah rasanya jatuh cinta?
“Terima kasih” Amir mengecup keningku mendamaikan jiwaku yang penuh ketakutan.
7. Wanita Itu Bernama Sarah
Aku sudah bangun sejak subuh tadi dan langsung membuat kue untuk Zaki sedang Umi membuat sarapan untuk kami. Memang sejak aku melaksanakan sholat, Amir selalu membangunkan aku pagi buta untuk sholat berjama’ah. Awalnya agak malas, bahkan cape harus mengerjakannya lima kali dalam sehari. Aku heran kenapa orang - orang itu mau mengerjakannya? Tapi melihat Umi yang usianya tidak muda lagi saja masih mengerjakan rukun islam yang kedua dengan penuh keikhlasan membuatku malu, bahkan Umi melaksanakan sholat sunah segala. Aku bertekad ingin seperti Umi yang selalu bersahaja. Jujur saja selama ini aku tidak pernah merasa menghormati seseorang, Umi orang pertama yang aku hormati, orang pertama yang memperkenalkan arti kasih sayang yang tulus yang bukan berasal dari harta belaka.
Amir keluar dari kamar, lalu tersenyum padaku, lalu kami pamit pada Umi. Kami pun pergi menuju pesantren yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, sekitar setengah kilo. Amir menggenggam tanganku aku hanya tersenyum saja melihatnya, aku benar - benar jatuh cinta padanya bahkan aku gak peduli kalo teman - temanku akan menertawakannya. Aku sendiri heran apa yang membuatku begitu mencintainya, padahal Amir itu jauh dari semua kriteriaku, bahkan bermimpipun tidak pernah aku akan menikah dengan orang seperti Amir, tapi perasaan itulah yang membuatku takut bagaimana kalau Amir mempunyai wanita lain selain aku? Bagaimana kalau dia tau aku bukan gadis yang selama ini dia kira? Bagaimana kalau….. Ah…aku tidak mau memikirkan itu, karena jika aku memikirkannya akan membuatku merasa takut dan selalu berburuk sangka padanya.
Tibanya di pesantren Amir mengantarku ke kamar Zaki, lalu dia pergi ke tempat kerjanya. Zaki tersenyum melihat kedatanganku dan mencium tangan kananku.
“Apaan sih Zak, malu.”
“Mba kan kakakku, masuk Mba!”
Kami pun masuk dan membiarkan pintunya terbuka. Aku menyerahkan kue yang aku buat dan makanan yang Umi buatkan khusus untuk Zaki.
“Ini pasti dari Umi”
”Umi sangat baik yah Zak?”
“Mba menyukainya?”
“Iya, andai dia itu mami kita yah Zak?”
Zaki menatap aku dari ujung hingga ke bawah.
“Kue ini dari Umi juga?”
“Itu aku yang buat loh Zak.”
“Oh ya? Aku cicipi yah Mba?”
Aku mengangguk, lalu Zaki mulai mengambil dan memasukkannya ke dalam mulut kemudian dikunyah dan dimasukkan ke dalam perut. Aku menatap Zaki. Bagaimana mungkin orang semuda Zaki akan pergi secepat itu meninggalkan aku bahkan dia belum kenyang dengan hidup bahagia.
“Tidak perlu dipikirkan Mba, aku yakin Allah akan memberiku jalan terbaik.”
Aku menghela nafas berat.
“Mba tidak merasa rindu dengan Jakarta?”
“Sebenarnya rindu tapi Amir sangat sibuk.”
“Aku denger Mas Amir dapat kerjaan di kota. Dia diminta mengajar di sebuah kampus yang cukup bonafid, itu kan memang cita - cita awal Mas Amir, tapi kenapa ditolak yah Mba?”
Aku mengerutkan dahi mendengar kabar yang baru keluar dari mulut Zaki tersebut. Amir tidak pernah mengatakannya padaku tentang masalah itu, sebenernya ada apa?
“Mba kenapa?”
“Oh tidak, aku mau ketemu Sarah dulu mau memberikan baju ini, ya… itung - itung tanda terima kasih karena sudah mengijinkan aku tinggal dengan dia. Oh iya Zak. bagaimana keadaan Sarah? Dia baik - baik saja?”
“Mba perhatian sekali sama Mba Sarah?”
“Kamu gak cemburu kan?”
“Tentu tidak Mba, malah aku senang karena Mba sudah mulai bisa menghargai orang lain.”
“Sarah itu gadis baik, aku menyukainya. Kalo aku cowo aku pasti jatuh cinta padanya?”
“Mba tidak boleh berbicara seperti itu, Mba seorang wanita selamanya akan jadi seorang wanita.”
Aku menatap Zaki sekali lagi.
“Kamu pernah jatuh cinta sama Sarah?”
“Tidak pernah.”
“Kenapa? Dia cantik. Atau kamu…sudah seperti…..” ledekku
“Mas Anwar maksud Mba?”
Aku mengangguk cepat.
“Aku tidak ingin memikirkan masalah itu, aku sudah cukup bahagia dengan kehidupanku seperti ini, aku tidak ingin meninggalkan penderitaan saat aku pergi.”
“Kamu jangan bicara seperti itu Zak, kamu kan udah janji kalo kamu akan berjuang demi Mba”
Andai Mba tau kalau aku selalu berjuang demi Mba, bahkan sampai saat ini aku bernafaspun itu demi Mba.
“Ya udah Zak, Mba ke kamar Sarah dulu yah?” Aku berdiri dan beranjak pergi.
“Mba, Assalamualaikum”
Aku tersenyum, lalu membalas salam yang Zaki ucapkan. Aku tau sebenarnya Zaki ingin mengingatkan aku yang lupa mengucapkan salam.
Seseorang membuka pintu yang kuketuk, tapi ternyata bukan Sarah, dia tersenyum padaku.
“Assalamualaikum” sapaku.
“Waalaikumsalam, ada yang bisa dibantu Mba?”
“E…aku mau ketemu Sarah”
“Mba Sarah baru saja keluar, masuk dulu Mba sebentar lagi juga kembali.”
Aku pun masuk,.kamarnya masih sama.
“Mba ini saudaranya Mba Sarah?”
“Bukan, aku temennya dia, kamu sendiri baru yah?”
“Iya baru satu minggu, nama saya Patricia.”
“Oh, saya Danisa” kami pun saling berjabat tangan
“Saya tinggal dulu yah Mba? Mau ambil wudhu.”
“Oh silahkan.”
Patricia keluar, aku duduk di atas kasur yang sering Sarah tiduri. Kulihat tumpukan buku milik Sarah di atas mejanya masih berantakan, tumben Sarah tidak membereskannya.
“Dari pada aku diam lebih baik aku membereskan buku - buku itu kan lebih bermanfaat” pikirku. Akupun membereskan buku - buku itu, saat aku melihat Al-Qur’an aku merasa tertarik, tapi aku tidak mengerti sama sekali dari mana aku harus mulai membacanya? Aku asal buka saja ternyata tulisannya sama seperti milik Amir dan Zaki, begitu membukanya kepalaku langsung terasa pusing melihat tulisan - tulisan yang bentuknya aneh itu, tapi ada sesuatu yang terselip di antara halaman Al-qur’an tersebut, akupun mengambilnya ternyata sebuah foto. Aku langsung membalikkan gambarnya, aku terkejut melihat foto yang aku pegang.
“Kenapa Sarah bisa menyimpan foto suamiku? Apa mereka punya hubungan?” Kepalaku terasa pening, aku cepat meletakkan foto itu lagi dan menaruh Al-Qur’an di atas tumpukan buku - buku milik Sarah.
Aku langsung menuju tempat kerja Amir, tapi kata temannya Amir tidak ada, aku pun pergi menuju pondok biasa Amir menginap. Kakiku terasa lemas melihatnya, ternyata Amir sedang berdua dengan Sarah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan yang jelas itu membuatku tidak menyukainya tanpa terasa air mataku mengalir melihatnya, tubuhku terjatuh, bayangan Sarah saat menangis dulu kembali berputar di kepalaku.
“Jadi pria itu Amir? Dan wanita yang selama ini aku takutkan itu adalah Sarah?”
Mbo Inah menatap kedatanganku dengan perasaan aneh, aku malah cuek dan langsung masuk ke kamarku, Mbo Inah masuk seenaknya aja.
“Suaminya mana Non?”
“Mbo keluar aja aku lagi mau sendirian!” seruku
“Non bertengkar sama suami?”
“Mbo ini denger gak sih?” Aku tambah marah
Mbo hendak pergi.
“Satu lagi mbo, kalo Zaki atau suamiku yang nyari aku, bilang gak ada.”
“Baik Non” Mbo Inah keluar aku segera mengunci pintunya dan menangis sejadi - jadinya.
Amir pulang sendirian membuat Umi merasa heran, Amir mengira kalo aku sudah pulang karena kata Zaki aku tidak bersamanya.
“Loh…Nisa mana Amir?”
Amir mengerutkan dahi, dia heran kenapa aku belum sampai rumah
“Ananda pikir Nisa sudah pulang, soalnya kata Zaki dia sudah pergi sejak tadi siang.”
“Apa mungkin dia tersesat?”
“Ananda rasa tidak, mungkin dia punya urusan.”
“Ya sudahlah, sana kamu mandi dulu.”
Sepanjang malam Amir gelisah memikirkan aku yang belum pulang dan tidak pamit padanya, dia bertanya - tanya kenapa dengan aku karena menurutnya kami tidak bertengkar dan itu memang benar.
Hampir satu minggu aku mengurung diri di kamar, Mbo Inah makin takut makanya dia menelfon papi, hari itu aku keluar kamar mengenakan jeans yang penuh sobekan dengan rambut digerai dan jaket kulit, tidak lupa aku mengamit helm sportku
“Non mau ke mana?”
“Mau balapan. Kenapa?”
“Loh…emang dibolehin sama suami Non?”
“Mbo ini cerewet banget deh, gue gak peduli kalopun dia melarngnya, bahkan bentar lagi gue mau cerai.”
“Non…”
“Udah deh Mbo”
“Danisa!”
Aku menoleh ternyata papi, papi mendekatiku lalu memelukku.
“Anak papi keren banget mau kemana?”
“Aku mau balapan.”
“Sini” Papi mengajakku duduk di ruang tamu, kamipun duduk bersama.
“Sedang bertengkar dengan suami kamu?”
“Nggak”
“Sama Papi kok boong?”
“Serius Pih, gue gak bertengkar kok.”
“Trus kenapa kata Mbo kamu nangis selama satu minggu?”
“Dasar Mbo Inah rese” gerutuku.
“Bener kan?”
“Nggak. Udah ah aku ditunggu temen - temenku” Aku berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Papi.
Anak buahku tersenyum melihat kedatanganku, mereka langsung memelukku bergantian, tapi tatapan mereka sedikit aneh melihatku.
“Kalian pada kenapa?”
“Kata si Davin bos udah merit, mana suaminya? Kenalin ke kita - kita dong bos”
“Bos, pasti suami bos itu jago ngetrek yah? Gue denger si Davin baru balik dari jepang, katanya di sana dia latihan terus, bahkan menurut genknya jimmy yang udah pernah balapan, kalo si Davin itu hebat” Iwan nyerocos kaya petasan tahun baru.
“Tapi gue yakin kalo bos kita juga pasti latihan sama suaminya dan dia jauh lebih hebat. Iya kan bos?”
“Sebenernya bos kemana sih? Merit kok kita - kita gak diundang?”
Apa yang akan mereka katakan kalo mereka tau aku ini tidak menikah dengan seseorang yang mereka pikirkan? Bagaimana kalo mereka tau, selama ini aku tinggal di kawasan pesantren dan belajar ilmu agama di sana?
“Kok bos Melamun?”
“Siapa yang melamun? Udah sana telfon si Davin, bilang gue udah balik.”
“Sekarang bos?”
“Ya sekaranglah!”
Kemudian Iwan menelfon Davin sementara yang lainnya sibuk memijiti punggungku, memang terasa aneh kembali kekehidupanku yang dulu, padahal aku baru dua bulan lebih saja memakai jilbab, mempelajari agama dan merasakan hidup tenang, tapi aku baru sadar kalo kehidupan yang aku jalani itu hanya fatamorgana saja. Selamanya di hati Amir hanya ada satu nama yaitu Sarah dan aku gak mau selamanya menjadi penghalang hubungan mereka. Sarah gadis yang cocok untuk bersama Amir, sama - sama berasal dari keluarga baik - baik dan pandai dalam urusan agama, sedang aku? Aku hanya berandalan, bajingan kecil yang bersembunyi di balik jilbabku. Tapi hatiku harus menerimanya walau sakit sekali, karena itu bukan salah Amir atau Sarah. Ini salahku sendiri yang membiarkan sosok Amir menyentuh hatiku, membuatku menjadi pecinta yang gila. Tapi aku juga tidak ingin melukai hati Zaki dengan sikapku, aku ingin dia terus seperti ini, tersenyum bahagia.
Davin tersenyum melihatku dan hendak menciumku tapi aku menghindar, matanya mencari sesuatu di sekelilingku.
“Suami Lo mana?”
“Ada.”
“Sebaiknya Lo cerai deh ama dia, trus Lo ama gue, kita bisa bikin genk yang hebat.”
“Lo tuh gak punya malu banget sih Vin. Lo itu bukan tipe gue, lagian emang di jepang Lo gak dapet cewe?”
“Gue itu setia ama Lo, biarpun cewe - cewe berseliweran di depan gue tetep aja gue maunya Lo, bahkan gue rela nunggu Lo jadi janda, atau gue buat lo jadi janda aja?”
“Najis Lo! Sialan banget sih, Lo mau ngapain suami gue?”
“Gue kan terpaksa. Lo gak tau sih gimana tersiksanya gue saat Papi Lo bilang Lo mau merit, gue kaya orang gila di jalanan, makanya gue kabur ke Jepang gue pengen ngalahin Lo biar Lo milih gue dan ninggalin suami Lo itu, gimana kita balapan sekarang?”
Aku sebenarnya malas, bukan apa - apa tapi karena sudah lama aku gak balapan belum lagi aku gak pernah latihan.
“Gimana?”
“Gak ah.”
“Lo kan pernah janji ama gue, kalo Lo bakalan balapan ama gue saat Lo balik”
“Iya iya oke.”
“Tarohannya apa?”
“Lo maunya apa?”
“Kalo Lo kalah Lo harus cerai ama suami Lo.”
“Tarohan apaan tuh, gue gak mau.”
“Lo takut kalah?”
“Eh Vin bukan itu masalahnya, gue gak mau mempertaruhkan pernikahan gue.”
“Lo cinta banget ama dia?”
“Kalo iya kenapa? Seratus juta kalo mau.”
Davin berfikir cukup lama dengan tawaranku.
“Oke! Gue yang tentuin waktunya, ntar malam rute biasa yah.”
“Oke!”
“Kita star di sini, gue akan undang dari genk yang lainnya” Davin pergi sambil mencolek pipiku, aku tidak sempat menghidari tangannya yang jail menyentuh pipiku.
Malam turun menutupi kota Jakarta, suara adzan berkumandang mengingatkan aku pada kehidupanku bersama Amir, namun aku segera menepis lamunanku agar tidak terlalu jauh dan membuatku merasakan sakit, tapi entah kenapa aku merasa takut untuk balapan kali ini, aku mulai takut akan kematian yang akan terjadi di jalan raya saat aku membuat kebisingan, atau mungkin aku takut karena belum meminta izin sama Amir? Bukankah selama ini aku selalu minta izin sama dia? Itu yang Zaki ajarkan padaku sesaat aku resmi menjadi seorang istri. Tapi aku yakin saat ini Amir sedang bersama Sarah berdua saja, dia gak akan peduli tanpa aku sekalipun, buktinya dia tidak pernah mencariku sama sekali itu menunjukkan bahwa memang aku tidak ada artinya sedikitpun di hati Amir.
Aku menyalakan mesin motor sportku, di sampingku sudah ada Davin yang juga sudah bersiap - siap dengan motor barunya. Aku masukan gigi motorku lalu ku gas sekuatnya, asap mengepul menyebarkan bibit - bibit penyakit dan kebisingan. Ku lihat seorang gadis mulai mengibarkan benderanya ke atas, aku langsung menginjak gasku dan motor melaju kencang di jalanan, tapi bayangan Amir dan Sarah tiba - tiba saja berkelebat di kepalaku, beberapa kali aku mencoba membuang bayangan mereka namun tiba - tiba wajah Umi yang muncul di susul wajah Zaki yang sendu, sekali lagi aku mencoba membuang wajah - wajah itu dan hasilnya motorku meluncur jauh melewati batas jalan sesaat aku membuka mataku kulihat wajah Umi mengulurkan tangannya, kemudian semuanya menjadi gelap dan aku tidak ingat apa - apa lagi.
8. Suara itu Amir
Aku berdiri di tengah tanah tandus yang kering kerontang. Sepanjang mataku melihatnya hanya ada asap dan panas, tenggorokanku terasa kering. Aku terus berlari kesana kemari mencari sumber air. Kulihat seorang wanita yang sedang berada di bawah sebuah pohon, wajahnya terlihat mulai menghitam, mungkin karena panas yang luar bisa dari matahari yang jaraknya sangat dekat dengan ubun - ubun manusia, aku menyentuh pinggung wanita itu, dia menatapku, rasanya aku kenal wajah itu walau agak kabur dan menghitam.
“Mami!” suaraku tertahan di tenggorokkan.
Mami menggenggam tanganku.
“Mami menunggu kamu di sini. Kamu mau ikut dengan mami?”
“Kemana? Aku haus mami.”
“Ikutlah bersama mami.”
“Mami, kenapa wajah mami?…”
Mami mengajakku berjalan jauh sekali, tibanya di tempat itu aku sangat terkejut melihat banyak orang-orang yang menjerit dalam kobaran api, akupun lari sekuatnya menjauhi mami yang menghilang entah kemana sambil terus meminta air. Sayup - sayup aku mendengar alunan suara merdu aku mendekatinya seseorang menatapku dari kejauhan, kakiku terasa sudah mati rasa, aku terus mendekatinya namun rasanya begitu jauh, dan sosok itu mengulurkan tangannya padaku, tapi tetap sulit sekali untuk menggapainya.
Air mataku meleleh, mulutku terus mengucapkan.
“Air, aku butuh air” suaraku parau.
Amir bangkit dan meletakkan Al-Qur’an di atas meja. Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi, dia meniup ubun - ubunku dengan ayat - ayat suci yang keluar dari mulutnya. Seketika aku membuka mataku, ruangan putih yang aku lihat.
“Istighfar Nis” bisiknya di telingaku.
Aku melirik, tapi sepertinya tubuhku itu sedang ditindih dengan batu yang beratnya berton - ton, ternyata wajah Amir yang aku lihat. Dia tersenyum padaku mendamaikan hatiku.
“Apa aku berada di rumah sakit?”
“Iya. Istirahatlah, jangan lupa berdoa.”
“Aku bermimpi buruk sekali” Aku pejamkan mataku lagi.
“Itu hanya bunga tidur” Amir menggenggam tanganku sekuatnya seolah mengerti ketakutan yang aku rasakan.
“Tidurlah…”
“Apa aku akan mati?”
“Tidak. kamu selamat, tidurlah…” Amir membelai rambutku.
Aku buka mataku, ketika kudengar alunan ayat Al-Qur’an disenandungkan oleh Amir dengan merdunya. Ini pertama kalinya aku merasa tenang mendengar orang mengaji, seolah aku mengerti apa yang sedang dilantunkan, air mataku meleleh begitu saja. Aku kembali teringat mimpi semalam apa yang kulihat semalam adalah neraka yang sering Umi katakan padaku? Atau itu hanya bunga tidurku saja? Tapi yang jelas aku sangat ketakutan hanya suaraku yang tertahan menahan panas yang luar biasa, memang aneh kenapa aku merasa begitu kepanasan kalo aku sendiri berada di sebuah ruangan berAC? Atau mungkin Tuhan sedang menegurku atas kedzoliman yang aku lakukan pada orang - orang yang begitu tulus padaku?
Dokter masuk keruanganku, Amir menaruh Al-Qur’annya di atas meja, lalu dokter mencopot gips di leherku. Kulihat Amir terus menatapku, lalu seorang suster berjilbab masuk membawakan bubur untukku.
“Ini keajaiban Nona” ujar dokter itu berlalu.
Amir mendekatiku, dia membelai kepalaku.
“Aku menemui dokter dulu yah.”
Aku tidak menjawabnya, dia berlalu dari pandangan mataku.
“Nyonya sangat beruntung memiliki suami seperti dia.”
“Maksud suster apa?”
“Selama anda koma suami anda tidak henti - hentinya mengaji, bahkan kadang - kadang sambil terisak.”
“Jadi selama ini aku koma? Amir tau dari mana? Pasti Mbo Inah, sekarang aku yakin dia kesini hanya untuk menceraikanku karena dia pasti sudah tau siapa aku ini yang sebenarnya, aku bukan wanita yang baik” pikirku.
Dadaku terasa sesak memikirkannya, bagaimana kalo Zaki tau? Dia pasti kecewa.
“Nyonya, ini sarapannya.”
“Terima kasih suster.”
Suster itu pun berlalu dari pandanganku.
Beberapa menit kemudian Amir kembali, aku langsung membalikkan tubuhku membelakanginya, Amir melihat bubur yang belum aku sentuh.
“Kenapa belum dimakan?” Amir mengambilnya lalu duduk di tepi ranjang.
Aku malas menjawabnya.
“Ayo dong Nis dimakan, udah sebulan lebih kamu tidak sadar, makan yah.”
Apa selama itu? Padahal aku merasa hanya beberapa saat saja.
“Nis!” Amir menyentuh tubuhku.
“Pergilah.”
“Kamu mengusirku?”
Tiba - tiba air mataku mengalir mengingat apa yang dia lakukan dengan Sarah di belakangku
“Aku akan pergi kalau aku memang tidak pantas berada di sini.”
Aku tambah menangis mendengarnya.
“Kamu menangis Nis?”
Aku segera menghapusnya ”Nggak.”
“Nis, kalau ada masalah katakan saja biar kita selesaikan dengan baik.”
Aku berbalik lalu bangkit.
“Aku minta cerai!”
Amir menatapku, wajahnya terlihat sendu.
“Kenapa?”
“Kamu tau alasannya? Kembalilah pada Sarah, dia gadis yang pantas untuk kamu, sama - sama pandai agama, sama - sama pintar, sama - sama baik, sedang aku?… Aku ini berandalan, urakan, suka bikin onar, lebih baik kita berpisah saja.”
“Cuma karena itu?” Nadanya tetap tenang tanpa sedikitpun terkesan marah.
Aku menatapnya mencari tau maksud dari ucapannya yang terkesan menganggapnya enteng.
“Kamu tega membohongi aku tentang Sarah, membuat aku percaya pada cinta. Seharusnya aku tau kalo di hati kamu itu hanya ada Sarah, tidak akan ada wanita lain apalagi wanita itu seperti aku, sekarang kamu sudah tau kan kalo aku ini tidak pernah mengerti agama sama sekali?”
Amir menggenggam tanganku, aku menatapnya, dia tersenyum menyentuh pipiku.
“Aku tidak pernah berpacaran dengan Sarah. Dulu kami memang sempat dekat, tapi aku memilihmu. Kami tidak ada hubungan apa - apa lagi setelah aku menikah, percayalah Nis. Sekarang di hatiku hanya ada kamu tidak ada tempat untuk wanita lain selain istriku.”
Aku terus menatapnya ingin mencari kejujuran ucapannya.
“Kamu bohong!” Aku membuang mukaku kesamping.
“Yang bohong kan kamu, tega sekali menyuruh Mbo Inah membohongi keberadaanmu, tapi aku minta maaf kalau sudah membuat kamu merasa dibohongi, tapi satu hal yang harus kamu tahu kalau aku sangat menyayangi kamu.”
“Walau sekarang kamu tahu aku ini bodoh dalam agama?”
“Aku tahu dari dulu, sebelum kita menikah pun aku sudah tahu.”
“Apa?” Aku menatapnya tidak percaya, jadi selama ini Amir hanya berpura - pura tidak tau dan selama ini aku hanya dijadikan bahan lelucon keluarga Amir?
“Zaki itu sudah seperti putra Umi, jadi tidak mungkin dia membohongi Umi”
Rasanya malu sekali mendengarnya, aku membuang mukaku menahan malu, Amir menarik wajahku menghadapnya.
“Kenapa?”
“Kalian pasti senang menertawakan aku.”
“Siapa bilang? Aku malah salut dengan cintamu untuk Zaki, kamu rela melakukan apapun demi Zaki walaupun kamu tidak menyukainya, kamu mau belajar, aku rasa itu sudah cukup.”
“Tapi…kamu kan lulusan terbaik, kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik.”
“Kamu yang terbaik yang Allah berikan untukku” Amir tersenyum.
“Kamu tidak menyesal sama sekali?”
Amir menggeleng lalu mencium keningku.
“Aku malah bersyukur memiliki istri seperti kamu” bisiknya.
Aku tersenyum terharu. Air mataku mengalir lalu aku memeluk Amir, rasanya aku ingin mempercayai semua ucapan Amir. Andai saja ada sebuah alat untuk mengukur kejujuran hati seseorang aku pasti akan membelinya untuk mengukur kejujuran Amir. Apa benar aku wanita paling bahagia saat ini? Apa benar hanya ada aku di hati Amir? Walau aku merasa lega karena beban yang selama ini terus kutanggung, kini telah hilang, bahkan aku mendapat bonus cinta Amir yang akan selalu mendamaikan hatiku, itu yang Amir janjikan padaku.
“Sekarang makan yah” pintanya.
“Aku gak suka makan bubur, ganti aja deh.”
“Lambung kamu masih lemah, apa kamu tidak kasihan dengan calon anak kita yang kelaparan?”
Aku terkejut mendengar ucapannya.
“Anak? maksudnya aku…”
“Iya. Di sini ada buah hati kita” Amir mengelus perutku.
Aku tersenyum bahagia.
“Kamu gak bohong kan?”
“Apa aku pernah membohongi kamu? Mau kan makan?”
Aku mengangguk cepat, tapi tetap saja rasanya tidak enak, kalo bukan demi calon anakku aku pasti sudah memuntahkan makanan itu.
“Apa kamu memberitahu Zaki kalo aku kecelakaan?”
“Tidak. Mbo Inah datang ke rumah, jadi hanya Umi yang tahu, tapi aku melarang Umi mengatakannya pada Zaki. Umi sangat cemas, beliau malah ingin ikut serta tapi aku melarangnya.”
“Umi sudah tahu kalo aku akan punya anak?”
“Iya”
Aku menatap wajah Amir.
“Kenapa?”
“Kamu gak berfikir ini anak orang lain kan?”
“Kenapa bicara seperti itu?”
“Aku kan bukan istri yang baik, aku kabur dari rumah suamiku sendiri.”
“Terus kenapa kamu kabur?”
“Ya… aku marah begitu tahu wanita yang dulu punya hubungan dengan kamu itu Sarah, apalagi aku melihat kamu berdua dengan Sarah di pondok, bahkan demi Sarah kamu melepaskan kesempatan mengajar di kampus. Aku merasa kalo aku ini hanya perusak hubungan orang lain walau sejujurnya aku merasa dibohongi oleh kamu.”
Amir tersenyum mendengar kejujuranku membuatku kesal.
“Gak lucu!” Seruku.
“Kamu tuh lucu banget sih Nis. Aku tidak mungkin berdua dengan Sarah di pondok, di sana ada mba Ifa, tapi di dalam, lagian kenapa tidak kamu gabung sama aku?”
Gabung? Yang bener aja.
“Sebenernya Sarah ingin bertemu kamu juga, tapi aku bilang kamu sedang bersama Zaki, makanya dia menunggu kamu di pondok sekalian dia mengundang kita ke acara pernikahannya. Alhamdulillah dia dilamar putra teman Ayahnya, dua minggu yang lalu baru selesai digelar, sayang kamu tidak hadir.”
“Kamu gak marah dia nikah sama orang lain?”
Amir sekali lagi tersenyum seolah sedang memamerkan ketampanannya padaku.
“Kenapa aku harus marah? Malah aku senang, sekarang tidak ada lagi wanita yang bisa membuat istriku cemburu.”
“Siapa yang cemburu?”
“Oh…yang waktu itu sampai kabur ke Jakarta bukan cemburu yah namanya? Aku baru tahu.”
Aku mencubit perut Amir. Amir mengaduh manja padaku.
“Iya. iya aku cemburu, puas? Terus kenapa kamu melepaskan kesempatan untuk mengajar di kampus itu?”
“Menurut kamu kenapa?”
“Ya…mana aku tau.”
Amir menggenggam tanganku, aku menatap wajah Amir yang terlihat serius hendak mengucapkan alasannya.
“Kamu pikir saja sendiri alasannya, kita sholat dulu yah” Amir hendak berlalu namun aku cegah, Amir menatapku.
“Kenapa? Jangan bilang kalo kamu sedang berhalangan, aku akan memeriksanya sekarang.”
“Aku cuma mau minta maaf, karena sudah berbuat yang kurang baik. Aku harap kamu mau membimbingku dengan sabar, karena aku menyerahkan semuanya padamu. Aku janji aku akan mematuhi semua yang kamu perintahkan, tolong ajari aku untuk belajar.”
Amir tersenyum, akupun tersenyum menyambut uluran tangannya.
Aku sudah berpakaian dengan rapih, terutama jilbabku, aku tersenyum menatap diriku di dalam cermin, sedang Amir menemui dokter. Tiba - tiba beberapa orang masuk, ternyata anak buahku dan Davin, aku sempat terkejut seperti mereka yang terkejut melihat penampilanku, Aku berbalik, mulut mereka pada melongo melihatku, mungkin kalo ada lalat yang lewat dan menclokpun mereka gak akan sadar.
“Kalian kenapa?”
Mereka tersadar dan langsung menutup mulutnya.
“Lo kesambet setan mana Dan?” Davin mendekatiku dan handak menyentuh keningku, untung aku cepat menghindar jadi tidak kena deh.
“Eit!!! Lo itu bukan muhrim gue Vin, enak aja main pegang – pegang.”
“Wah bener nih, Lo itu kesambet Danis.”
“Kesambet apaan?”
“Dandanan Lo tuh aneh banget.”
“Iya bos dandanan bos sangat aneh, sangat mencurigakan seperti teroris.”
“Astaghfirullahaladzim. Aah Lo tuh pada norak semua yah, udah deh kalian gak akan pada ngerti, tujuan kalian kesini mau ngapain?”
“Ya…menengok bos lah, apa perlu kita juga dandan kaya bos?” Tanya salah satu anak buahku.
“Emang kalian pada bisa sholat?”
Mereka saling berpandangan satu sama lain
“Sholat? Lo belajar sholat di mana?” Davin mengejekku.
“Jangan - jangan bos kita dapat wangsit saat koma untuk mendirikan aliran baru seperti di TV – TV itu. Bener kan bos?”
“Bener yah?”
“Gue bosen kebut - kebutan terus, gue mau tobat gue mau jadi orang baik dan gue mundur jadi bos kalian, udah terserah kalian mau jadi anak buah siapa aja.”
“Jangan - jangan karena kecelakaan itu otak Lo pada buyar, makanya jadi aneh kaya gini.”
Aku bener - bener udah gak tahan dengan ocehan mereka yang ngaco semuanya.
“Suami gue itu putra seorang pimpinan pondok pesantren.”
“Apa? Gue gak salah denger?”
“Nggak!”
Davin malah tertawa ngakak diikuti para anak buahku, kemudian Amir masuk. Aku tersenyum melihatnya walau Amir merasa aneh dengan orang - orang yang berada di dalam kamarku. Tawa mereka sejanak berhenti melihat Amir, kulihat raut wajah Davin berubah melihat kedatangan Amir.
“Oh…jadi ini cowo yang udah ngrebut cewe gue?”
“Cewe apaan?” protesku.
“Lo pasti pake pelet kan buat ngedapetin Danis?” Davin menarik kerah kemeja Amir
“Davin lepasin, apa - apaan sih” seruku.
Tanpa ba – bi - bu lagi Davin menonjok hidung Amir. Aku terkejut melihat Amir yang terhuyung ke belakang dengan hidung berdarah, aku langsung menubruk suamiku.
“Mas. Kamu gak apa – apa kan?” Aku menatap Davin lalu mendekatinya
“Norak banget sih Vin!!”
“Lo tuh yang norak, Lo tuh udah buta karena milih dia. Lo inget apa yang Lo ucapin saat Lo nolak gue? Lo bilang Lo mau nikah sama cowo yang bisa ngalahin Lo balapan kan? Dan cowo itu gue, bukan dia! Lebih baik kalian cerai saja dan Lo” Davin menunjuk Amir.
“Sebaiknya Lo ceraikan Danisa karena kalo gak gue bisa mampusin Lo.”
“Heh!” Aku menonjok wajah Davin anak buahku bersorak ”Lo sadar gak Lo siapa? Enak aja main cerai. Gue kan udah bilang, gue cinta ama dia, gue gak peduli dia gak bisa balapan, yang jelas suami gue itu lebih segala - galanya dari Lo. Jadi saran gue, Lo lupain deh niat ngaco Lo buat mampusin suami gue. Kalo sampai anak gue lahir tanpa ayah, Lo orang pertama yang gue mampusin!”
“Lo pasti akan nyesel karena milih dia” Davin berlalu dengan kemarahan yang memuncak di kepalanya, aku menatap para anak buahku.
“Kenapa lagi? Kalian gak denger tadi gue bilang apa?”
“Denger kok bos” jawab mereka serempak.
“Terus ngapain masih di sisni?”
“Nasib kita bagaimana bos?”
“Ya…terserah kalian, kalo kalian mau tobat kaya gue ya syukur, tapi kalo gak juga gak apa - apa toh bukan aku ini yang rugi. Iya kan Mas?”
Amir tersenyum, aku baru sadar kalo Amir terluka, aku langsung mendekatinya dan membersihkan lukanya dengan tisu yang tersedia.
“Mantan pacar kamu itu ternyata sangat membenciku.”
“Kami tidak pernah pacaran, Papi aja yang kurang kerjaan.”
Amir tersenyum.
“Jangan bersikap seperti itu lagi yah.”
Aku mengangguk, aku tahu Amir tidak menyukai sikapku saat aku menantang Davin, tapi aku paling benci kalo ada seseorang yang menyuruhku bercerai dengan Amir, apalagi sekarang aku sedang mengandung anaknya.
Mbo Inah menyambut kedatanganku, Amir masih mengamati rumah yang kutinggali, kemudian mang urip memasukkan koperku kedalam kamar, kami pun masuk, tapi alangkah terkejut dan malunya aku melihat kamarku yang masih penuh dengan poster-poster yang mempertontonkan aurat, aku nyengir kuda.
“Kamarku belum diberesin, e…kita istirahat di kamar tamu dulu yah!” Aku mengajaknya. menuju kamar tamu lalu kutinggalkan Amir sendirian, aku menemui mbo Inah di dapur.
“Mbo Inah bikin aku malu tau gak?”
“Loh kenapa Non?”
“Kenapa poster - poster itu belum dibuang?”
“Non kan gak nyuruh.”
“Ya udah sekarang beresin kamar aku.”
“Baik Non.”
Aku menemui Amir di kamar tamu, kulihat Amir masih mengamati sekitar rumahku
“Apa ada yang aneh?”
“Tadi kamu habis memarahi pembantu kamu yah?”
“E…”
“Dia itu orang tua, dia sangat menyayangi kamu, bahkan dia rela menempuh jarak yang begitu jauh hanya demi kamu.”
“Nanti aku akan minta maaf sama Mbo.”
Amir tersenyum lalu duduk di atas kasur.
“Rumah sebesar ini, berapa orang yang tinggal?”
“Cuma aku, kadang - kadang kalo Zaki lagi pulang ya…bareng Zaki, sama Mbo Inah, mang urip sama pak satpam. Memangnya kenapa?”
“Ayah kamu tinggal di mana?”
“Dia punya rumah sendiri.”
Amir sedang mengaji ketika Papi mampir ke rumah. Memang aku sengaja yang meminta Papi untuk ke rumah, soalnya kalo aku yang ke rumah Papi, agak males ngeliat wanita - wanita Papi.
“Ada perlu apa sampe Papi disuruh kesini segala? Oh iya suami kamu mana?”
“Ada di kamar lagi ngaji.”
“Gak jadi cerai?”
“Ih…Papi kok ngomongnya kaya gitu sih.”
“Terus kenapa manggil Papi kesini?”
Aku menghela nafas berat mengumpulkan keberanianku untuk bicara pada Papi.
“Waktu aku koma, aku mimpi bertemu Mami. Keadaannya sangat menyedihkan, Mami terlihat sangat menderita, wajahnya menghitam. Dia bilang sedang menunggu aku, aku sangat takut Pih makanya aku berniat menyumbangkan setengah dari depositoku atas nama Mami, lagian itu juga uang Mami. Aku akan mempercayakan penyalurannya pada Mas Amir.”
“Suami kamu yang minta?”
“Nggak ko Pih, bahkan Mas Amir gak tau kalo aku punya deposito.”
“Danisa, uang itu untuk masa depan kamu bukan untuk disumbangkan, kalo kamu menyumbangkannya bagaimana masa depan kamu?”
“Kan aku udah punya suami.”
“Papi gak yakin dia bisa mencukupi kebutuhan kamu, nyediain uang bulanan buat kamu.”
“Pih, aku kan tinggalnya dikampung.”
“Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu? Itu gak sedikit loh Danis”
Aku mengangguk cepat.
“Aku yakin dengan keputusanku, lagian aku kan masih dapet uang bulanan dari Papi, bolehkan Pih?”
“Terserah kamu, itu hak kamu. Papi sudah melarang kamu, jadi kamu harus tanggung konsekuensinya kalo terjadi sesuatu sama kamu suatu saat nanti.”
“Aku gak akan menyesal karena aku yakin Papi gak akan membiarkan aku menderita.”
Papi tersenyum.
“Oh iya Pih, masalah Zaki…”
“Papi sibuk” Papi berdiri.
“Pih, Zaki sakit.”
“Dia kan udah gede, masa gak bisa ngurus diri sendiri.”
Amir keluar dari kamar, melihat Papi dia langsung mencium tangan kanannya.
“Pih, ini Mas Amir.”
“Papi udah kenal waktu di Rumah Sakit. Ya…udah Papi harus pergi banyak urusan, tolong jaga Danisa baik - baik” katanya melangkah.
“Pih!”
“Apa lagi?” Tanyanya sambil membalikkan badan menatapku.
“Assalamualaikum.”
“E…..Wa…waalaikusalam” jawabnya lalu pergi.
Kemudian kami masuk ke kamar.
“Tadi Ayah kamu ada perlu apa?”
“Cuma nengokin aku aja, maklum aku kan anak perempuan satu – satunya.”
“Oh iya aku lupa” godanya.
Lalu aku mengambil secarik kertas yang sudah aku tanda tangani dan sebuah kartu debet dengan jumlah yang sama, aku serahkan pada Amir, dia tampak heran apalagi mengetahui nominal yang tertulis di atas kertas itu.
“Apa ini Nis?”
“Aku ingin kamu menyumbangkan semuanya atas nama Mami, sedang kartu itu aku percayakan semuanya pada kamu. Aku yakin kamu akan menggunakannya ke tempat yang tepat.”
“Nis…bukannya aku menolak tapi uang ini sangat besar, aku tidak bisa mengemban amanah ini.”
“Sebelum meninggal Mami membuka deposito untukku sebesar 10milyar, saat aku koma aku melihat keadaan Mami yang kesusahaan makanya aku ingin menyumbangkan setengahnya, sedang yang satunya lagi bukankah aku ini istri kamu? Apa yang aku miliki adalah milikmu itu kata Umi, aku sudah menyerahkan seluruh kehidupanku jadi tolong… terimalah.”
Amir tersenyum.
“Nis…”
“Ayolah… aku sudah yakin dengan keputusanku, aku ingin merawat Zaki di sampingmu.”
“Baiklah.”
Aku tersenyum.
Aku membantu Mbo Inah memasak di dapur, sesekali mbo Inah melirikku.
“Jadi Non kembali nanti besok?”
“Iya, Amir kan punya tanggung jawab kerjaan Mbo.”
“Mbo ikut yah Non?”
“Ikut kemana?”
“Ya… ikut bareng Non, Mbo kan bisa bantu Non. Jadi Non gak perlu repot.”
“Mas Amir tuh gak akan setuju Mbo.”
“Tapi kan Non, Mbo kesepian di sini.”
Aku menatap pembantu yang sudah paruh baya itu. Memang kasihan sih selama ini kan Mbo selalu menemani aku menjadi tameng saat aku lagi butuh, tapi Amir gak akan setuju lagian di sana ada Umi yang akan selalu menjaga aku. oh iya…
“Ntar aku telfon Papi, biar Mbo kerja di rumah Papi gimana Mbo mau gak?”
“Terus yang lainnya gimana Non?”
“Iya juga yah mbo… atau… aku kontrakin aja rumah ini?”
“Tuan gak akan setuju Non.”
“Pastinya. Ya udah Mbo di sini aja, ntar aku suruh Papi bujuk Anwar supaya mau tinggal di sisni.”
“Kenapa sih Non gak tinggal di sisni aja? Di kampung kan gak enak Non”
“Tapi di sana ada Zaki Mbo.”
“Oh… iya sampe lupa. Kabarnya den Zaki bagaimana Non?”
“Mbo bisa jaga rahasia gak?”
“Bisa”
“Sebenernya Zaki lagi sakit, keadaannya udah parah. Aku ingin membawanya berobat tapi Zaki menolak. Dia bilang dia ingin mati di tempat itu. Dia menolak uangku jadi hanya dengan berada di sisinyalah yang bisa aku lakukan sekarang ini” aku menghapus air mataku.
“Den Zaki sakit apa Non?”
“Aids. Dan itu semua karena aku yang sering memberinya uang buat beli barang haram itu, aku merasa sangat bersalah.”
“Tuan udah tau?”
Aku menggeleng pelan ”Papi gak mau tau urusan Zaki, padahal saat - saat seperti ini Zaki membutuhkan keluarganya.”
“Kasihan sekali den Zaki”
Aku sudah siap dengan koper kecilku yang berisi sesuatu yang khusus aku beli untuk orang - orang yang aku sayangi, lalu Amir membawa kopernya memasukan kedalam bagasi taksi, padahal Papi sudah menyediakan mobil beserta sopirnya untuk mengantar kami, tapi Amir menolaknya dengan halus dengan alasan tidak mau merepotkan.
Taksi membawa kami menuju terminal Bus, padahal aku minta naik kereta api saja lagi - lagi dia menolak dengan sangat halus, dia bilang kalo naik kereta banyak kejahatan belum lagi berdesak - desakan dan aku harus menyerah mengikuti keputusannya. Bukankah aku sendiri yang sudah membuat keputusan untuk belajar menjadi istri yang baik sesuai dengan ajaran agamaku.
Amir membangunkan aku, mataku masih terasa berat ternyata hari sudah akan pagi, ini kedua kalinya aku berada di terminal itu.
“Kita sholat subuh dulu yah, baru kita lanjutkan perjalanan.”
Aku hanya mengangguk, kemudian kami turun dan segera menuju musholah yang ada di terminal. Selesai sholat Amir mengajakku mencari warung nasi.
“Kamu tidak puasa Mas?”
“Untuk kamu. Kamu kan harus banyak makan, kasihan calon anak kita.”
“Oh…iya”
Amir membawaku ke tempat yang sama seperti Zaki dulu, wanita itu masih tampak cantik. Dia menatapku sepertinya sedang mengingat – ingat.
“Assalamualaikum Mba.”
“Waalaikum salam ustadz, mau sarapan?”
“Iya satu saja.”
“Tumben sekali Ustadz pagi - pagi sudah ada di sisni, dari mana?”
“Dari Jakarta, menjemput istri yang lagi ngambek” godanya.
“Apaan sih” aku mencubit perutnya.
“Tuh kan lagi ngambek.”
“Oh… ini istrinya? cantik yah, tapi rasanya saya pernah bertemu dengan Istri Ustadz ini.”
Amir menatapku.
“Apa dia membuat masalah mba?” tanyanya pada wanita yang kuperkirakan seumuran dengan Mba Latifah itu.
Wanita itu menyodorkan sepiring nasi komplit ke arahku dengan sopan.
“Tidak, mana mungkin istri ustadz membuat masalah.”
Amir tersenyum melirik aku, ah… andai wanita itu tau rekor masalah yang pernah kuciptakan tentu dia gak akan mengatakan hal seperti itu. Tapi aku sedang malas membicarakan masalah - masalah yang membuatku menjadi terkenal dan mempunyai banyak anak buah walau akhirnya harus aku tinggalkan mereka semua di Jakarta.
Selesai makan, angkutan umumpun datang, kami segera menaikinya ternyata penuh, tidak seperti saat dengan Zaki. Banyak orang yang menyapa Amir, dari mulai nenek - nenek sampai anak kecil. Sebenernya aku tidak heran kalau Amir terkenal. Ini desa kecil dengan penduduk yang tidak begitu menumpuk seperti di jakarta, belum lagi dia putra seorang pemimpin pondok pesantren, pastilah dia sangat terkenal. Tapi aku juga terkenal di Jakarta, di sekolahku, di kampusku, dan dalam komunitasku mungkin lebih terkenal dari Amir.
Tiba - tiba aku merasa mual dengan bau keringat yang bercampur dengan sayuran dan entah apa lagi menjadi satu. Aku sendiri heran kenapa aku risih dengan bau itu, padahal dulu kehidupanku sangat dekat dengan minuman keras yang juga berbau, juga sering berkumpul dengan anak buahku sambil merokok, apa mungkin karena aku sedang hamil jadi seperti ini?
Begitu turun dari angkutan umum itu aku langsung muntah, Amir panik padahal jarak rumah masih cukup jauh.
“Nis kamu kenapa? Masuk angin yah?” Tanyanya sambil terus memijit tengkukku.
“Aku gak tau Mas, kenapa aku jadi alergi sama bau keringat dalam mobil tadi.”
“Ini semua salahku, coba kita terima tawaran Ayah kamu, maafkan aku yah Nis, membuat kamu jadi tidak nyaman.”
Aku tersenyum mencoba mengurangi perasaan bersalahnya padaku.
“Gak apa - apa, mungkin cuma karena aku lagi hamil aja. Lagian kamu sendiri kan gak tau kalo bakal terjadi seperti ini, udah ayo kita jalan lagi.”
“Istirahat saja dulu Nis” Amir menuntunku duduk pada sebuah batang pohon yang sudah tumbang. Kami duduk berdua, Amir menggenggam tanganku.
“Mas, kamu gak nyesel nikah sama aku?”
Amir menatapku lalu tersenyum.
“Kenapa harus menyesal?”
“Ya… aku kan… gak sepinter Sarah.”
“Pinter itu karena belajar, atau jangan - jangan kamu yang menyesal karena meninggalkan Davin?”
“Apaan sih? Gak lucu.”
“Orang lagi hamil cepet marah yah, tapi Nis kamu ngidam apa?”
“Emangnya aku harus ngidam yah?”
“Ya… biasanya kan orang hamil suka ngidam, Umi juga dulu pernah waktu hamil aku katanya dia ngidam pengen makan kurma. tapi kamu jangan ngidam mau beli pesawat terbang yah aku kan tidak punya uang sebanyak itu” ledeknya.
Aku mengelus perutku.
“Tuh dengerkan sayang kata… Mas nanti kamu mau dipanggil apa? Papi, Ayah, atau…”
“Kalau Abah gimana?”
“Jangan ah, masa sama kaya Abah kamu”
“Trus apa?”
“M…apa ya…”
“Kalo Abi gimana?”
“Abi itu artinya Ayah juga?”
“Iya”
“Iya deh, sayang denger kan kata Abi?”
“Kalau kamu sendiri mau dipanggil Mami?”
“Umi”
“Ah… curang.”
“Aku kan pengen jadi wanita kaya Umi.”
“Iya deh aku nyerah, soalnya kan kamu yang lebih banyak berkorban untuk anak kita.”
“Ya udah kita jalan lagi yu!”
“Istirahat dulu.”
“Kasihan Umi nunggu kita. Dia pasti cemas, lagian aku juga udah baikkan kok.”
“Ya udah.”
Kamipun kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah yang jaraknya lumayan jauh, kira - kira hampir satu kilo dan itu harus jalan kaki.
Umi menyambut kedatangan kami, dia langsung memelukku, pelukkan hangat yang sudah lama menghilang dariku saat aku memutuskan pergi ke Jakarta.
“Keadaan kamu baik - baik saja kan Nis?”
“Berkat doa Umi juga”
“Ah… syukurlah”
9. Sang Ketua
Dua hari aku istirahat di rumah padahal aku ingin sekali menemui Zaki, tapi Amir melarangku pergi dan menyuruhku untuk istirahat. Setelah istirahat dua hari ternyata membuat tubuhku terasa nyaman.
Aku sengaja membuat sedikit makanan untuk Zaki. Sejak selesai sholat subuh aku sudah memasak dibantu Umi, wanita itu sangat baik padaku juga pada Zaki seperti seorang Ibu kandung pada anaknya. Dia tidak pernah membeda - bedakan aku dengan Amir atau dengan Mba Latifah cuma kadang - kadang aku merasa kalo Umi sedikit mengistimewakan aku, atau itu hanya perasaanku saja?
“Nanti kamu jangan pulang duluan yah Nis, kita pulang bareng kalau urusan kamu dengan Zaki sudah selesai, kamu tunggu saja aku di pondok yah.”
Aku mengangguk cepat.
“Jangan kabur ke Jakarta lagi!”
“Iya.”
Amir tersenyum menggandeng tanganku, lalu kami pamit pada Umi dan pergi menuju pondok pesantren tempat Zaki berada.
Udara yang segar membuat perjalananku tidak terasa melelahkan sama sekali, malah terasa menyenangkan karena berada di samping Amir.
“Melihat kamu yang sering tidak nyaman berjalan jauh aku jadi kasihan sama kamu, kamu mau kita membeli kendaraan?”
Aku mengangguk.
“Aku akan telfon Papi untuk minta dikirim mobil keluaran terbaru yang nyaman banget, gimana setuju gak?”
Amir menatapku lalu tersenyum.
“Sekarang kamu itu sudah menjadi tanggung jawabku, aku juga punya tabungan. Ya… walau tidak bisa membeli mobil keluaran terbaru paling tidak kamu merasa nyaman.”
Aku merasa bersalah mendengar ucapan Amir, mungkin dia tidak suka dengan sikap aku yang selalu meminta pada papi.
“Ya sudah, tapi kamu kok punya tabungan? kata Umi kamu kan baru beberapa bulan tinggal di Indonesia.”
“Saat kuliah dulu aku sambil kerja.”
“Hebat yah…”pujiku.
“Baru sadar punya suami hebat?” Godanya.
Aku justru baru sadar kalo Amir itu tidak sekaku dugaanku, dia sangat lucu dengan godaan - godaannya yang membuatku sering kesal. Mungkin orang yang belum mengenalnya akan berfikiran sama denganku, Amir orang yang sangat membosankan tapi begitu aku mengenalnya justru aku menyukainya, godaan - godaannya, senyumnya pokoknya aku menyukai semua yang ada pada diri Amir.
Zaki tersenyum melihat kedatanganku, lalu mencium tangan kanan kami bergantian
“Aku nitip dia yah Zak.”
“Iya Mas.”
Kemudian aku mencium tangan kanannya.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam” jawab kami, lalu Zaki mengajakku masuk lagi - lagi dengan membuka pintu kamar. Zaki mempersilahkan aku duduk, kuletakkan kantong plastik yang dari tadi kubawa dari rumah.
“Bagaimana bulan madunya Mba? Menyenangkan tidak?”
Bulan madu? bulan madu apaan? Aku malah koma di Rumah Sakit hampir sebulan
“Mba kenapa?”
“Bulan madu?”
“Iya Umi bilang kalian bulan madu”
“Oh… iya menyenangkan banget loh Zak.”
“Kok Mba tidak pamit sama aku sih.”
“Ya… kamu tau sendiri kan gimana Papi, katanya mumpung dapet gratisan dari relasinya.”
“Iya juga yah Mba.”
Aku menatap Zaki yang terlihat lebih kurus.
“Kamu terlihat kurus sekali, kamu puasa terus yah?”
“Kadang - kadang saja ko Mba.”
“Mba sama Umi membuatkan makanan kesukaan kamu, nanti dihabisin yah!”
“Baiklah.”
Suasana hening dengan hawa yang sedikit terasa dingin.
“Sebenernya waktu Mba sama Mas Amir pergi dan tidak menghubungiku sama sekali, aku punya firasat tidak enak tapi melihat keadaan Mba dan Mas Amir yang baik - baik saja membuatku lega.”
Ah… andai Zaki tau kalo selama ini aku dirawat di rumah sakit, tentu dia akan sangat bersedih karena tidak menengok aku dan aku takut kalo itu akan membuat penyakitnya bertambah parah. Maafkan aku yah Zak, aku gak jujur sama kamu.
“Oh iya Zak, Umi udah ngasih tau kamu belum?”
“Masalah apa?”
“Kalo sebentar lagi akan ada yang memanggil kamu Om”
“Maksudnya…Mba…?” Zaki menggelembungkan tangannya ke depan perut.
Aku mengangguk, dia langsung memelukku dan tanpa terasa air matanya meleleh.
“Aku senang sekali Mba… Sungguh aku bahagia kalaupun Tuhan ingin memanggilku sekarang karena aku sudah merasa tenang meninggalkan Mba di dunia ini. Maafkan aku Mba kalau aku tidak punya kesempatan melihat wajah malaikat kecil itu, tapi aku yakin kalau dia akan menjadi anak yang baik.” Gumamnya dalam hati sambil menghapus air matanya.
“Kamu menangis Zak?”
“Aku bahagia mendengar kabar baik ini. Semoga dia menjadi anak yang soleh dan solehah berbakti pada orang tua.”
Aku mencoba tersenyum walau ucapan Zaki membuatku merasa ingin menangis seolah - olah dia tidak akan melihat kelahiran anakku saja, tapi cairan bening itu tetap saja menggelinding deras membasahi pipiku. Zaki menghapusnya namun tetap saja mengalir
“Mba jangan menangis.”
Aku menggeleng cepat.
“Kamu gak akan ninggalin Mba kan Zak?”
“Mba… Maut itu datang tanpa ada orang yang tau, tanpa ada yang bisa menghindarinya.”
“Iya Mba tau, tapi kan… kamu udah janji ama aku kalo kamu akan berusaha ,kalo kamu akan bertahan.”
Zaki memelukku, membuat tangisku semakin deras.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, aku lebih banyak diam. Amir merasa ada yang sedang mengganggu pikiranku dan itu pastilah berhubungan dengan Zaki. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar dan berbaring.
“Zaki ngomong apa sama kamu?”
Aku menggeleng cepat secepat, aku menghapus air mataku agar Amir tidak melihatnya.
“Nis…”
“Aku mau istirahat Mas, cape.”
“Ya sudah” Amir meninggalkan aku sendirian di kamar.
Umi tersenyum melihat putra bungsunya sudah pulang. Amir duduk sambil membuka buku yang di bawanya.
“Nisa mana Amir?” Tanya Umi sambil duduk di dekat putranya, tangan kanan Umi tidak henti - hentinya memutarkan butiran - butiran dalam tasbih yang sengaja di bawanya.
“Ada di dalam kamar sedang istirahat” katanya dengan wajah yang sedikit cemas, Umi melihat perubahan putranya itu.
“Apa ada masalah dengan Nisa?”
“Ananda tidak tahu pasti Umi, hanya saja sikapnya menjadi pendiam setelah menemui Zaki”
“Kamu sudah bertanya padanya?”
“Dia lebih senang memendamnya dalam hati, ananda takut kalau - kalau itu akan berdampak buruk untuk kandungannya.”
Umi menepuk bahu Amir
Amir membangunkan aku untuk sholat maghrib berjama’ah, ternyata Abah berada di rumah sehingga kami sholat berempat. Selesai sholat, mereka mengajakku ke ruang keluarga tapi lagi - lagi fikiranku melayang pada sosok Zaki.
“Amir sudah menyampaikan amanah nak Nisa pada Abah hanya saja Abah masih ragu apa nak Nisa yakin mau menyumbang sejumlah itu?”
Amir menggenggam tanganku dan terpaksa aku menyudahi fikiranku tentang Zaki
“Abah sedang bertanya mengenai uang itu, apa kamu yakin mau menyumbang sebesar itu?”
“Tentu saja Abah. “
“Kamu tidak menyesal?”
“Menyesal? Memangnya ada yah Bah orang yang menyesal karena sudah menyumbang?”
Umi tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Ananda rasa Nisa sudah memikirkannya secara matang.”
“Abah hanya tidak mau ada suara - suara miring mengenai keputusan istrimu, seolah - olah pernikahan kalian ada maksud jahat terselubung, itu yang sedang Abah coba singkirkan.”
“Aku sudah meminta izin sama Papi dan aku ikhlas Bah.”
“Alhamdulillah kalau begitu, hati Abah sudah tenang sekarang hanya perlu memikirkan uang sebanyak itu digunakan untuk apa saja agar bermanfaat.”
Amir mengangguk lalu menatapku, aku mencoba tersenyum senormal mungkin.
Hari - hari yang kujalani adalah hari - hari panjang tanpa kepastian. Hari - hari panjang penuh penantian yang membuat jiwaku merasa ketidak tenangan hati. Hanya saat belajar mengajilah aku bisa meluangkan sejenak pikiranku dari sosok Zaki. Huruf Alif mengajariku untuk tetap tegar berdiri menjalani ketidakpastian itu dan Al-Qur’an memberikan ketenangan batin sejati. Lewat rangkaian huruf - huruf arab itu aku baru mengetahuinya ada makna - makna tersembunyi yang menunjukkan kebesaran Allah. Seperti juga Zaki yang selalu menangis saat mengaji, itu juga yang terjadi padaku. Kata Amir
kalau kita berdoa dengan sungguh - sungguh Allah akan mengabulkannya, apalagi kalo kita berdoa saat - saat Tahajjud.
Dalam setiap doaku, aku selalu meminta keajaiban untuk Zaki, walau aku tahu bahwa hanya orang - orang tertentulah yang berhak mendapat keajaiban itu.
Hari itu aku melihat Umi sedang sibuk, banyak tetangga yang datang dan membuat makanan. Apalagi Mba Latifah dan Mas Iman juga datang semakin membuatku heran, ada apa yah?
Tiba - tiba kudengar suara motor yang menderu - deru, kulihat lewat kaca jendela. Rasanya aku mau pingsan melihat mereka semua, aku segera keluar sebelum Umi yang menemuinya. Melihatku mereka tersenyum.
“Siang bos!”
“Kalian mau ngapain kesini?” Suaraku sedikit kutekan agar tidak menarik perhatian orang.
Mereka saling berpandangan.
“Kita mau bertemu sama bos.”
“Ya udah kalian udah ketemu sama aku kan, sekarang cepat kalian pergi.”
“Pergi kemana bos?” Tanya Iwan persis kaya orang bego.
“Ya terserah kalian.”
“Tapi kan bos kita masih kangen sama bos.”
“Tapi kangen kalian tuh momentnya gak pas. Udah deh cepet kalian balik.”
“Kok bos tega sih, kita kan udah jauh - jauh mau ketemu sama bos masa disuruh balik lagi.”
“Iya bos.”
Aduh… mereka membuatku pusing, masalahnya sekarang aku gak mungkin menerima mereka. Apa kata temen - temen Umi?
“Nis!”
“Iya Umi” aku berbalik menghadap Umi.
“Loh mereka siapa Nis?”
“E… mereka…”
“Assalamualaikum Umi” Sapa mereka serempak seperti sebuah paduan suara yang indah.
“Waalaikum salam” jawab Umi sambil tersenyum.
“Kami dari Jakarta Umi” ujar Jeki.
“Oh… kalian temennya Nisa?”
“Nisa itu siapa yah Umi?” Tanya salah satu anak buahku tanpa merasa bersalah.
“Ini Danisa” seru Umi.
“Oh…jadi dipanggilnya Nisa yah Umi?”
“Nis, kok temen - temen kamu laki - laki semua yah.”
“Tidak semuanya kok Umi, temen perempuan juga banyak tapi mungkin mereka lagi sibuk iya kan?”
“Iya Umi.”
“Ya sudah ajak mereka masuk.”
“Tidak usah Umi mereka juga mau balik. Iya kan?” tanyaku penuh harap.
“Nggak!”
Umi tersenyum, aku melotot pada mereka.
“Ajaklah mereka masuk” kata Umi sambil berlalu.
Mereka hendak masuk bersama tapi aku menahannya.
“Kenapa lagi bos?”
“Dengerin aku, jangan panggil aku bos karena aku bukan bos kalian lagi ngerti?”
“Tapi kan kita belum menerima pengunduran diri bos secara sah, belum lagi bos juga belum membacakan laporan pertanggungjawaban selama menjadi ketua dan kita belum memeriksa apakah bos ikutan korupsi kaya pejabat atau tidak. Jadi secara sah dan meyakinkan bos masih menjadi ketua genk kita iya kan?”
“Setuju!” seru mereka bersama seperti suara para pendemo yang menuntut penurunan harga BBM saja.
“Lo bilang gue korupsi? Enak aja, malah gue tuh yang tombok punya anak buah kaya kalian. Sembarangan!” Seruku keceplosan karena mereka sudah membuatku kesal.
“Iya deh bos sori, tapi tetep bos ini masih bos kita iya gak?”
“Setuju!” Seru mereka kembali dengan suara yang serempak dan kali ini menyedot perhatian Ibu - Ibu yang sedang sibuk di dalam, aku hanya nyengir kuda menahan malu.
“Oke! oke kita bicarakan ini nanti. Tapi yang jelas kalian tidak boleh memanggilku bos, kalian panggil aku Nisa seperti yang Umi lakukan.”
Mereka saling berpandangan
“Tapi kan bos sesuai undang - undang nomor 17 pasal 3 ayat 7 junto keberapa yah… pokoknya yang bunyinya kalo anak buah harus memanggil ketua dengan sebutan bos, bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi membawa makanan rantangan setiap hari selama seminggu untuk seluruh anggota genk.”
“Eh… ko lo hafal sih?” Tanya anak buahku sedikit berbisik pada anak buah ku yang tadi berbicara.
“Iya dong, kan cuma ayat itu yang gue hafal” jawabnya berbisik pula.
“Tapi kalian harus inget undang - undang nomor 1 pasal 2 ayat 5 bahwa semua keputusan ketua adalah perintah yang harus ditaati, dan sanksinya barang siapa yang tidak menuruti perintah ketua maka dia diwajibkan menjahit bendera Merah Putih menggunakan jarum tusuk tangan seperti Ibu Fatmawati.”
“Ibu Fatmawati siapa sih bos? Kayanya penting banget deh sampe - sampe harus masuk dalam undang - undang kita segala.”
“Wah… kalian semua norak yah, masa gak kenal Ibu Fatmawati.”
“Emang Ibu fatmawati Ibunya bos yah?” Tanya seorang anak buahku pada Iwan dengan berbisik.
“Gue juga gak tau, tapi dilihat dari namanya sih pasti orang penting soalnya gue sering denger nama itu… kalo gak salah nama jalan atau apa…gitu.”
“Hem!”
Semua anak buahku kembali menghadapku
“Nanti kalian baca buku sejarah yang gak tau siapa Ibu Fatmawati, pokoknya kalian gak boleh ada yang manggil aku dengan nama bos, ngerti?!”
“Iya bos.”
“Bagus ayo cepat masuk.”
Kamipun masuk, banyak mata Ibu - Ibu yang menatap kami dengan tatapan aneh. Ya jelaslah mereka ngerasa aneh, masa menantu seorang pimpinan pondok pesantren berteman dengan orang - orang yang berpakaian gak jelas dengan sobekan jeans di mana – mana.
“Nisa!” seru Umi.
“Iya Umi” aku segera berbalik menghadap Umi.
“Sini sebentar temen - temen majlis Umi pengen kenal.”
Akupun mendekati Umi dan teman - temannya, tanpa aku suruh para anak buahku mengikutiku dari belakang.
“Assalamualaikum Umi” sapa mereka serempak.
“Kalian ngapain?” Bisikku geram.
“Ini istrinya Amir, namanya Danisa Nurlaila.”
“Cantik yah, pantas saja kalau nak Amir langsung jatuh hati.”
Wajahku memerah mendapat pujian itu, aku tersenyum malu.
“Oh… jadi nama lengkap bos itu Danisa Nurlaila yah?” celetuk salah satu anak buahku dari tujuh orang yang ada.
Aku langsung menoleh ke belakang dan melotot pada mereka, dan sialnya Iwan tidak mengerti maksudku melotot.
“Kenapa bos?” Tanya Iwan tanpa merasa bersalah, seolah mereka lupa apa yang aku katakan tadi.
“Bos? maksudnya…..apa?”
“Kalian suka bercanda deh masa memanggilku bos sih.”
“Oh iya, kami memang biasa memanggil Nisa seperti itu, maklum dia sering nraktir kita iya kan Nis?”
“Pinter”
“Oh… saya kira bos apaan” gumam temen Umi. Sedang Umi hanya tersenyum menatapku.
“Ah… kalian masa gak ngerti sih tadi omongan bos agar kita jangan memanggilnya bos tapi Nisa, untung aku ingat” Katanya dengan bangga.
Ibu - ibu itu menatap kami semua, dan anak buahku itu tidak menyadari kesalahannya.
“Sudahlah, Nis ajak teman - teman kamu istirahat di belakang.”
“Baiklah Umi” jawabku tanpa semangat karena aku yakin Umi pasti malu pada teman – temannya.
Aku melihat mereka makan, dari cara mereka makan yang berebutan seperti orang - orang yang minta berkah pastinya mereka sudah berhari - hari tidak makan.
“Setelah kalian makan cepetan balik ke Jakarta, kalian tuh bikin malu aku aja tau gak?”
“Tapi kan bos Jakarta jauh.”
“Udah aku bilang jangan panggil bos.”
“Tapi rasanya aneh kalo kita manggilnya Nisa, kaya anak pengajian aja.”
“Maksudnya apa kamu ngomong kaya gitu? Gini - gini aku udah bisa ngaji. Udah pokoknya kalian harus segera cabut dari sini.”
“Bos kita nginep deh di sini bareng semalem, kita kan cape.”
“Kalian pikir ini hotel? Gak bisa. Pokoknya kalian harus segera pergi! Kalo Amir sampe marah kalian mau bertanggungjawab?”
Iwan meletakkan piring yang masih berisi nasi dan lauknya.
“Bos benar, seharusnya kita gak mengganggu kehidupan bos yang sudah tenang, maafin kita - kita yah bos” Iwan berdiri diikuti yang lainnya.
“Jadi kita percuma dong jauh - jauh kesini” ujar salah satu anak buahku putus harapan.
“Mungkin kita harus berjalan sendiri - sendiri, kesetiaan kita pada bos ternyata hanya membuat hidupnya susah. Sekarang kalian tentukan jalan masing – masing.”
“Lo sendiri mau kemana Wan?”
“Mungkin gue akan pulang kampung dan jadi petani saja.”
“Seharusnya Lo jadi preman pasar Wan.”
“Maaf yah teman – teman, gue gak bisa menyalurkan aspirasi kalian dengan baik.”
Mereka semua memeluk Iwan, lalu menatapku dan hendak memelukku.
“Boleh kan bos kami memeluk bos sebagai tanda perpisahan?”
“Gak!”
“Ayolah bos untuk yang terakhir kalinya.”
“Iya bos lagian suaminya kan gak ada.”
“Iya tapi…”
Mereka memelukku seperti anak - anak yang memeluk Ibunya karena takut ditinggalkan, tiba - tiba aku teringat Zaki yang akan pergi meninggalkan aku.
“Hem!!!”
Aku menoleh ternyata Amir sudah berada di ambang pintu, aku segara melepaskan pelukan mereka semua.
“Mas!”
Mereka menoleh, aku segera mendekati Amir dan mencium tangan kanannya.
“Ini gak seperti dugaan kamu Mas, mereka hanya ingin memelukku sebagai tanda perpisahan karena sebentar lagi mereka juga bakal balik ke Jakarta. Iya kan?”
Mereka mengangguk pelan.
“Kenapa harus buru - buru, nanti malam kan akan diadakan empat bulanannya kandungan Nisa. Lagi pula dari keluarga Nisa hanya ada Zaki yang menghadirinya, menginaplah di sini barang semalam atau dua malam.”
Aku menatapnya.
“Ternyata suaminya bos sangat baik, tentu kami mau iya kan teman - teman?”
“Bukannya kalian ada urusan? katanya harus balik sekarang.”
“Ah… gak jadilah bos, makasih yah suaminya bos, ayo makan lagi!” Seru Iwan memberi komando.
Kami pergi ke kamar, aku masih tidak mengerti dengan sikap Amir, aku pikir dia akan marah besar padaku tapi di luar dugaanku malah sikapnya pada temanku sangat baik. Tapi aku bener - bener gak mau mereka lebih lama membuatku malu.
“Kenapa sih kamu harus menahan mereka Mas?”
“Memangnya kenapa? Mereka teman kamu kan? Lagi pula kasihan mereka kalau harus kembali sekarang, jarak Jakarta kan jauh.”
“Iya tapi mereka mau tinggal di mana?”
“Ya… sementara waktu di sini saja dulu, atau kita bisa menyuruh mereka tinggal di pesantren sementara waktu.”
“Mereka berandalan Mas.”
“Memangnya kenapa? Bos mereka juga kan pernah tinggal di sana” Amir tersenyum menatapku, sekali lagi itu bukan tatapan mengejek tapi tatapan menggoda yang sering dia lakukan padaku.
“Bagaimana kalau mereka membuat keonaran di sini?”
“Aku melihat kesetiaan mereka padamu yang cukup besar, segala ucapanmu adalah perintah bagi mereka karena itulah mereka kesini menemui sang ketua yang mereka anggap sebagai panutan. Aku seharusnya bangga mempunyai seorang istri yang begitu berpengaruh bagi orang lain kan? Sekarang terserah padamu bagaimana menggunakan pengaruh itu.”
“Aku pikir kamu akan marah padaku karena mereka memelukku.”
“Sebenernya aku marah, tapi apa aku harus menghajar mereka semua? Tentulah aku akan babak belur.”
Aku tersenyum lalu menggenggam tangannya.
“Kamu baik banget sih Mas.”
“Baru sadar kalau aku baik?” Godanya.
Selalu seperti itu kalau aku memujinya, Amir mengecup keningku.
“Sholat berjama’ah yu!”
Aku mengangguk cepat.
Setelah aku berpakaian cukup rapih, aku menemui anak buahku di dalam kamar tamu yang tersedia, alangkah terkejutnya aku ketika aku melihat apa yang mereka lakukan. Mereka merokok sambil ongkang - ongkang seenaknya.
“Kalian ngapain?”
“Ngerokok bos, bos mau?”
“Lo sarap yah, aku kan lagi hamil. Amit - amit jabang bayi, semoga anak aku jangan seperti kalian” aku mengelus perutku dengan cepat.
“Yah si bos, kalo anak bos seperti kita - kita ntar suami bos nyangka kita lagi orang tuanya.”
“Udah berapa kali aku bilang jangan panggil aku bos?”
“Tapi kan bos… rasanya aneh kalo kita manggil Nisa.”
“Kalo gitu besok pagi - pagi banget kalian harus segera cabut dari sini, kalian tuh bikin malu aku.”
“Trus kita pergi ke mana bos?”
“Ya… terserah kalian.”
Tiba - tiba Amir masuk, mereka berdiri dan aku segera menoleh ternyata dia bersama Zaki. Zaki tersenyum tipis sekali padaku hampir aku tidak melihat senyuman itu.
“Sebentar lagi acaranya dimulai dan rasanya sangat aneh kalau kalian masih memakai pakaian seperti itu, jika kalian tidak berkeberatan silahkan menggunakan pakaian yang pantas di kamar yang sudah saya sediakan.”
“Boleh suaminya bos, ayo teman - teman!” Ajak Iwan.
Kemudian mereka mengikuti ke mana Amir pergi dan meninggalkan aku berdua dengan Zaki. Aku mencoba bersikap seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa - apa pada kami.
“Mba baik - baik saja kan?”
“Seharusnya Mba yang bertanya seperti itu sama kamu Zak. Coba kamu lihat diri kamu sangat kurus.”
“Aku baik - baik saja Mba.”
“Oh… iya Zak, sebenernya ini acara apaan sih?”
“Ini acara 4 bulanan kandungan Mba.”
“Setau Mba yang ada cuma tujuh bulanan, lagian buat apa sih Zak diadain acara kaya ginian?”
“Saat kandungan berusia empat bulan, saat itu lah garis hidupnya tertulis di Lauhul mahfudz. Roh akan ditiupkan dia hidup dan harus menjalani takdir baik dan buruk yang sudah tertulis di Lauhul mahfudz. Makanya kita membaca Ayat suci Al-Qur’an agar calon bayi diberikan jalan hidup yang baik kelak saat dia berada di dunia.”
“Oh…”
Aku baru mengetahui bahwa saat usia kandungan berumur empat bulan roh itu akan ditiupkan ke dalam kandungan dan saat itulah ada makhluk hidup yang berada dalam perutku, tapi aku jadi berfikir apa dulu saat Mami mengandungku aku juga dibacakan Ayat - ayat Al-Qur’an?
“Kira - kira saat kita dalam kandungan, Papi sama Mami kaya gitu gak yah Zak?”
“Entahlah Mba.”
Saat itu anak buahku masuk dengan pakaian yang sangat sopan sekali, persis seperti yang Amir dan Zaki kenakan.
“Gimana bos? Keren kan?”
Aku mengangguk cepat.
Pagi - pagi aku bangun, niatnya sih aku ingin membangunkan anak buahku dan menyuruh mereka cepat pergi biar gak semakin membuatku malu, tapi keburu ketahuan Amir dulu sehingga mengurungkan niatku untuk melakukannya.
“Mau kemana Nis? Ini kan belum masuk waktu subuh.” Aku mencoba tersenyum dan kembali berbaring di samping Amir.
“Aku merasa kalo teman - temanku itu…”
“Oh iya semalam aku dan Zaki berbincang dengan mereka sampai malam” katanya sambil membelai rambutku.
“Mereka bicara apa aja tentangku?”
“Mereka tidak membicarakan kamu.”
Aku merasa lega, aku memang gak mau Amir mengetahui aku yang dulu. Aku ingin menutup semua kehidupan kelamku di masa lalu dan memulainya di sini di tempat yang membuatku menjadi seorang manusia utuh walau jauh dari semua yang aku sukai, tapi di tempat inilah aku merasa ketenangan seperti yang Zaki katakan. Di tempat sunyi dan sepi ini kita mempunyai banyak waktu untuk mengingat Allah, merenungkan semua yang terjadi dalam kehidupan.
“Terus mereka ngomong apa aja?”
“Salah satu anak buah kamu pernah bermimpi, dan dalam mimpinya itu dia selalu melihat kamu, katanya dia seperti dibayang - bayangi kamu. Makanya mereka kesini.”
“Tapi kan Mas…”
“Mereka merasa kalau kamu itu selamanya akan menjadi ketua mereka dan mereka akan mengikuti apapun yang kamu lakukan.”
“Tapi aku gak bisa selamanya menjadi ketua mereka, aku benar - benar ingin bertaubat Mas.”
“Nis… apa kamu tidak ingin mengajak mereka bersamamu? Ajaklah mereka.”
“Tapi…”
“Dahulu Rasulullah sangat sulit mengajak orang - orang untuk memeluk dan mendalami Islam, tapi sekarang… kamu memiliki kesempatan itu. Mereka kesini menyusul sang ketua yang mereka anggap bisa menjadi tempat berlabuh.”
Aku menundukkan mataku mencoba mencerna ucapan Amir. Tiba - tiba bayangan tentang kebersamaan kami dahulu kembali terlintas, saat kami kebut - kebutan di jalan raya, saat kami tawuran antar genk, saat kami dikejar - kejar polisi, semuanya kembali mengingatkan aku pada mereka.
“Mereka membutuhkanmu Nis.”
“Mas… aku sendiri baru mempelajari Islam, lagi pula apa kata orang - orang jika melihat aku sering bergaul dengan mereka. Apa tidak sebaiknya kalo mereka mempelajarinya di pesantren saja, aku takut kalo aku salah menyampaikan tentang Islam, itu juga kalo Mas setuju.”
“Baiklah, tapi kamu yang harus mengatakannya pada mereka.”
Aku mengangguk, lalu terdengar suara adzan walau sayup – sayup.
“Kita sholat berjama’ah dulu yah.”
10. Semua Akan Berakhir
Perubahan itu datang dalam kehidupanku, musim yang menjadi saksi bagaimana aku merasakan kebahagiaan dan ketakutan secara bersamaan, melihat keadaan Zaki yang semakin hari semakin kurus membuatku takut akan kehilangan seseorang yang dulu Mami perjuangkan hidupnya.
Aku mengutarakan keinginanku untuk tinggal di pesantren saja agar aku bisa lebih dekat dengan Zaki, untunglah Amir mengerti dan menyetujuinya. Tinggal Umi yang harus aku beritahu tentang keinginanku, tapi aku takut Umi tidak akan mengizinkan aku sendirian tinggal di sana. Makanya aku minta Amir menemaniku untuk meminta izin sama Umi.
“Nanti kamu akan repot Nis.”
“Tapi Umi… aku ingin berada di samping Zaki ketika dia pergi, aku melihat keadaannya sudah sangat memburuk.”
“Kita suruh saja Zaki tinggal di sini.”
“Zaki tidak mau Umi” sela Amir.
“Iya, katanya dia ingin pergi di sana, di tempat dia memulai segala penyesalannya.”
“Umi cemas dengan kehamilanmu.”
“Kan di sana ada Mas Amir, Umi.”
Umi menghela nafas, dia menyadari keinginanku sulit untuk di tolak karena bagaimanapun awal keberadaanku di sini hanya untuk Zaki.
Setiap hari aku pasti bertemu dengan Zaki dan para anak buahku, biasanya kami berkumpul selesai sholat zuhur. Kami sering makan siang bersama, itupun jika Amir atau Zaki tidak sedang berpuasa. Setiap hari Zaki selalu mengelus perutku, dia bilang dia takut kalau - kalau dia tidak bisa menyentuhnya nanti dan itu membuatku selalu bersedih, tapi aku gak mau Zaki tahu kalau aku menangis. Aku selalu berusaha tersenyum. Hari itu tiba - tiba aku kedatangan tamu yang tidak pernah aku sangka - sangka. Dia memelukku, aku merasakan ada cairan yang dia teteskan dan mengenai tubuhku.
“Kenapa Mas Anwar menangis?”
“Habis kamu lucu sih, coba kamu lihat diri kamu. Kamu jadi orang aneh, dandanan kamu, cara bicara kamu…”
“Seperti Zaki?”
Anwar mencoba tersenyum, aku duduk di atas kursi yang membelakangi jendela. Aku kembali teringat tentang penyakit Zaki yang belum sempat aku katakan pada Anwar.
“Mas Anwar kesini ada urusan apa? Atau cuma kangen sama adik Mas yang cantik ini?” ledekku.
“Kata Mbo Inah… kalo Zaki…”
“Jadi untuk itu Mas datang kemari?”
Anwar menghela nafas berat.
“Kenapa Lo gak ngasih tau gue?”
“Aku takut Mas akan menjauhinya dan itu akan membuatnya semakin bersedih.”
“Gue memang membenci dia, tapi rasanya aneh saat Mbo mengatakan tentang keadaan Zaki. Sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada gue, makanya gue kesini.”
“Papi tahu?”
“Iya, tapi katanya dia sibuk.”
“Papi sangat sibuk, di dalam hidupnya hanya ada pekerjaan. Karena hanya itulah yang bisa melupakannya tentang Mami.”
“Hari ini gue akan membawanya pulang ke Jakarta trus berobat ke Amerika, kebetulan gue udah ngomong sama dokter. Ya… walaupun penyakit ini belum ada obatnya tapi kita harus berusahakan?”
“Aku udah pernah mengatakan itu Mas, tapi dia menolaknya.”
“Tapi kenapa?”
“Dia bilang dia ingin pergi dalam keadaan beriman, tapi cobalah Mas bujuk dia mungkin saja dia mau menuruti perkataan Mas.”
“Bagaimana mungkin, dia sangat dekat dengan Lo, ucapan Lo aja gak dia turuti.”
“Mas…Zaki butuh kita di sini untuk menyemangati hidupnya.”
“Jadi itu alasan Lo tinggal di sini?”
“Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan untuk menolongnya, aku hanya tahu kalau Zaki akan bahagia jika aku berada di sisni bersama suamiku, cobalah Mas bicara sama dia, siapa tahu dia mau.”
“Tapi …”
“Coba kalau Papi mau sedikit saja meluangkan waktu untuk Zaki, aku hanya minta sedikit saja Mas… Tapi Papi terlalu sibuk dengan kebenciannya.” Aku mencoba menahan laju aliran cairan yang sudah mengumpul di sudut mataku.
Anwar memelukku dan menangis bersama, bagaimanapun kerasnya hati Anwar ternyata hubungan persaudaraan kami sangat kuat mengalahkan kebenciannya pada Zaki. Amir menunduk melihat aku dan Anwar yang menangis bersama.
Sesekali Zaki melirik Anwar yang duduk di sampingnya, terlihat sekali suasana kaku yang menyelimuti hati mereka.
“Mas sedang ada urusan bisnis di sekitar sini?” Zaki mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.
Anwar tetap diam sambil menunduk.
“Sudah bertemu Mba Nisa?”
“Apa Lo membenci gue?”
Zaki tersenyum lalu menggeleng cepat.
“Gue benci banget sama Lo, tapi seberapa kerasnya gue membenci Lo, tetep saja gue gak bisa. Dulu gue berharap Lo lah yang meninggal bukannya Mami, tapi sekarang saat gue tahu Lo sakit, hati gue juga sakit.”
Zaki mencoba tersenyum.
“Kita ke Amerika yah Zak!” Anwar menggenggam tangan Zaki, ini genggaman tangan yang pernah menghilang dalam kehidupan Zaki dan jujur kalau hati Zaki sangat bahagia.
“Tapi aku ingin mati dalam keadaan beriman di sini Mas.”
“Tapi Lo juga harus berusaha zak, Lo rela pengorbanan Mami memperjuangkan Lo sia - sia?”
“Aku tahu Mas, aku tidak akan bisa membayar semua pengorbanan Mami tapi… aku yakin Mami akan lebih senang kalo aku mengisi sisa hidupku dengan bertaubat. Mungkin aku bisa tersenyum saat pergi nanti.”
“Jadi Lo gak mau?”
“Aku belum pernah merasa sebahagia ini Mas, aku juga belum pernah merasa seikhlas ini jika Allah memanggilku sekarang karena apa yang aku minta pada Allah sebagian sudah terkabul. Jadi biarkan aku membanjiri sajadah dalam tahajjudku, di sini!”
Anwar melepas genggaman tangannya lalu pergi meninggalkan Zaki. Zaki menangis melihat saudara tertuanya pergi.
“Maafkan aku Mas! Tapi aku selalu mendoakan agar ada seseorang yang menuntunmu kembali kejalan Allah agar kelak kita dipertemukan lagi di alam lain nantinya kembali menjadi satu keluarga” Gumamnya di sela tangisan yang semakin deras.
Aku yang saat itu melihatnya tak kuasa menahan tangis, lalu pergi kembali ke pondok. Anak buahku masuk mengucapkan salam, aku segera menghapus air mataku lalu menemui mereka di luar.
“Ada perlu apa kalian kesini?”
“Kami disuruh suaminya bos kesini.”
Aku mengerutkan dahi merasa heran kenapa Amir harus menyuruh mereka menemuiku di sini. Aku duduk di kursi panjang yang tersedia di depan kamar, merekapun duduk di sampingku.
“Memangnya kalian disuruh ngapain?”
“Kami mau ke Kabupaten, suaminya bos bilang mungkin bos mau menitip sesuatu pada kami.”
“Kalian pergi pake mobil?”
“Iya.”
“Awas yah kalo kalian sampe merusak mobil itu.”
“Tenang bos.”
“Aku tuh gak bisa tenang gitu aja, kalian kan belum punya sim semua. Inget gak waktu kalian merusak mobil sportku? Kalian ngakunya sudah terbiasa bawa mobil, gak tahunya mobil curian yang sering kalian bawa sampe - sampe aku harus berurusan sama polisi?”
“Waktu itu kan kami lagi pada mabok bos.”
“Iya bos.”
“Ya… sudah pergilah.”
“Bos yakin gak mau nitip?”
Aku menggeleng cepat.
Iwan menatapku penuh selidik.
“Bos habis nangis yah?”
“Siapa bilang?”
“Bos lagi bertengkar yah sama suami bos?”
“Atau apa perlu kita bikin perhitungan sama suaminya bos?”
“Tapi kan wan, dia guru kita.”
“Tapi bos ketua kita, iya kan?”
“Jadi kita bikin perhitungan sama suaminya bos?”
“Kalian apa - apaan sih? Siapa yang bertengkar?”
“Terus kenapa bos nangis?”
“Siapa yang menangis?”
“Bos gak usah boong, kita kenal bos tuh udah lama banget, jadi kita tahu kalo bos lagi sedih dan punya masalah.”
“Oke, aku memang lagi ada masalah tapi bukan dengan suamiku. Udah deh kalian cepet ke Kabupaten, ntar kemaleman lagi.”
“Bos yakin gak mau kita temenin?”
“Terima kasih atas perhatian kalian.”
Mereka saling berpandangan dan serempak menundukkan kepala. Aku menjadi heran dengan sikap mereka.
“Kalian kenapa?”
Iwan menghapus air matanya, ternyata mereka menangis.
“Ini pertama kalinya bos mengucapkan terima kasih semenjak kami menjadi anak buah bos dan itu membuat kami terharu.”
Aku terpaku mendengar ucapan mereka, betapa selama ini aku sudah berbuat sesuatu yang membuat mereka tidak merasa dihargai, padahal mereka sangat menyayangiku. Tanpa terasa air mataku jatuh mendengar ucapan itu, tapi aku cepat - cepat menghapusnya.
“Bos menangis karena kami?”
Aku menggeleng cepat.
“Aku baru sadar kalo selama ini aku mengecewakan kalian, maafin aku yah.”
Mereka saling berpandangan.
“Mengecewakan? Tidak bos.”
“Sudahlah kalian cepat pergi, biar kalian cepat kembali lagi, kalian gak mau kabur kan? Kalo kalian pergi aku pasti merindukan kalian.”
“Bos dan suami bos sangat baik. Bagaimana kami bisa meninggalkan kalian”
“Ya sudah, ati - ati di jalan.”
“Boleh kami mencium tangan bos?”
“Kalian bukan muhrim. Udah sana.”
“Sebagai tanda terima kasih kami, karena sering menyusahkan bos dan memperkenalkan kami pada Islam hingga kami merasa kalo kami ini masih sebagai manusia.”
Aku mengangguk cepat.
Anwar masuk tanpa memberi salam padaku, wajahnya terlihat sangat sedih namun dia mencoba menyembunyikannya dariku dengan tersenyum. Dia mengelus rambutku.
“Bagaimana?”
Anwar menggeleng, satu tetes air mata jatuh membasahi pipiku tapi aku segera menghapusnya.
“Maafin gue yah.”
Aku mencoba tersenyum, Anwar memelukku.
Andai Papi mau sedikit mengerti kami dan mencurahkan perhatian pada kami, mungkin kami tidak perlu menjadi keluarga yang aneh seperti ini. Andai Papi mengerti agama sedikit saja dan mengajarkannya pada kami, tentu kami tidak akan menjadi keluarga yang jauh dari agama, dan andai masih banyak pengandaian lagi dalam kehidupan kami. Tapi dunia kami takkan sebesar andaikan, karena itu semua hanya pengharapan yang menunjukann ketidak mampuan kami sebagai seorang manusia.
“Hari ini juga gue balik ke Jakarta, percuma saja gue kesini.”
“Apa yang Mas lakukan bukanlah percuma, itu semangat untuk Zaki bahwa ada banyak orang yang mengharapkan kesembuhan dan kebahagiaan untuknya terutama keluarganya.”
“Ya… sudah gue balik yah.”
“Mas… Zaki butuh kita.”
“Zaki hanya butuh Tuhannya, bukan kita.”
Aku menggenggam tangannya berusaha meyakinkan dia.
“Zaki sangat butuh kita, tinggallah di sini menemani Zaki Mas. Anggaplah ini sebagai permintaanku yang terakhir pada seorang kakak.”
“Sorry, gue banyak urusan” Anwar pergi meninggalkanku sendirian di kamar itu.
Amir pulang dari pesantren, aku menyambutnya dengan senyuman walau tak semanis biasanya. Sepertinya Amir tahu apa yang sedang terjadi padaku, makanya sikapnya agak aneh. Dia menggenggam tanganku lalu mengajakku berbaring di sampingnya.
“Mas makanlah dulu.”
“Kamu sudah makan?”
“Hari ini aku merasa tidak lapar.”
“Sepertinya kamu sangat membenci calon anak kita.”
Aku mengerutkan dahi mencari tahu maksud ucapannya. Amir membelai rambutku yang sebagian menutupi wajahku.
“Aku tidak mengerti ucapanmu Mas”
“Matamu sembab, pastilah banyak debu yang masuk ke dalam matamu, tapi jangan biarkan calon anak kita kelaparan hanya karena Ibunya yang merasa tidak lapar.”
Aku mencoba tersenyum mendengar ucapannya.
“Apa di matamu masih banyak debu? Aku pinjamkan bahuku.”
Aku memeluknya sangat erat, karena aku tidak bisa berkata - kata lagi. Amir membelai rambutku dengan lembut.
“Kalau kamu merasa sangat sedih dan bingung, tumpahkanlah semua tangismu hanya dalam sujudmu, karena aku tidak akan bisa melihat wajahmu bergenang air mata kesedihan di sampingku” bisiknya di telingaku.
Aku menengadah, kulihat matanya yang tenang. Amir menghapus air mataku.
“Kalau Umi tahu kamu menangis, Umi pasti akan memarahiku.”
Aku mencoba tersenyum dengan gurauanya yang tidak lucu.
“Zaki tidak mau dibawa ke Amerika, aku takut Mas… sangat takut.”
“Semua yang ada di bumi ini milik Allah. Kita hanylah meminjamnya saja, jadi jika suatu hari nanti Allah berkehendak mengambilnya lagi maka kita hanya bisa mengikhlaskannya saja karena hanya itulah yang bisa kita lakukan.”
Tapi aku belum ikhlas jika Zaki harus pergi sekarang, mungkin aku memang egois tapi aku ingin Zaki melihat anakku mungkin itu bisa menjadinya penyemangat baru baginya.
Zaki berbaring lemah di kamarnya. Aku segera menemui Zaki ketika kudengar dari anak buahku kalau Zaki tidak keluar kamar sudah 2hari, ternyata ketakutanku benar dia sakit. Penyakit itu sudah menggerogoti kekebalan tubuhnya. Aku menangis melihat Zaki yang lemas terkulai di atas kasurnya dan sangat terlihat kurus sekali, seolah hanya ada tulang dan kulit saja di tubuhnya yang dulu tegap dan tinggi. Wajahnya memancarkan senyum manis membuatku semakin bersedih, aku lebih senang melihat dia menangis padaku sambil merajuk bukan seperti ini berlagak tidak apa - apa hanya agar aku tidak bersedih.
“Pasti anak buah Mba yang memberitahu, jahat sekali mereka membuat Mba mencemaskan aku padahal mereka tahu kalau Mba sedang hamil.”
“Kenapa sih Zak kamu gak ngasih tahu Mba? Mba ada di sini untuk kamu, Mba melakukan semua ini untuk kamu, tapi kamu seolah… gak… pernah butuh Mba” Aku menyeka air mataku.
“Kalau kamu kesakitan bilang Zak, tapi kamu gak pernah mau berbagi dengan Mba, kamu lebih suka menyimpannya sendiri, Mba itu gak pernah berarti di hati kamu.”
Zaki mengulurkan tangannya, aku segera meraih dan memeluknya. Kutumpahkan semua tangisku di dadanya.
“Aku sudah sering menyusahkan Mba, maafkan aku jika Mba merasa kalau aku tidak membutuhkan Mba. Asal Mba tahu kalau Mba sangat berarti di hatiku” gumam Zaki dalam hatinya.
Beberapa kali aku memencet serangkaian nomor telephon namun tak ada yang menerimanya. Aku terus mencobanya dan kali ini aku berhasil menghubunginya.
“Iya ada apa Dan?”
“Pih… Zaki sakit” Suaraku bergetar.
Tidak ada suara, yang kudengar hanya sepi.
“Papi sibuk Dan” Papi menutup telephonnya, aku masih terpaku mendengar bunyi tut… tut… tut dari telephonku. Apa Papi sebegitu tidak pedulinya pada Zaki? Bahkan aku tidak bisa mengukur sebesar apa kebencian Papi pada Zaki. Jika memang Zaki bisa memilih tentu saat itu pastilah dia memilih Mami yang hidup, tapi Zaki bukan siapa - siapa yang bisa menentukkan nasibnya.
“Assalamualaikum” seru suara dari depan.
“Waalaikumsalam” aku segera menghapus air mataku dan menemui orang yang memberi salam tersebut. Aku terkejut melihat orang yang berada di depanku itu, dia tersenyum di sampingnya tergeletak sebuah koper berukuran sedang.
“Lo gak mau memeluk gue?”
Aku tersenyum lalu memeluknya.
“Kenapa Mas Anwar bawa koper?” Aku duduk di atas kursi yang terdapat di depan kamar, Mas Anwar duduk di sampingku.
“Gue kasihan aja ama lo, lo kan lagi hamil tapi lo ngurusin Zaki sendirian. Lagian lo kan yang bilang kalo lo hanya bisa berada di samping Zaki agar membuat Zaki bahagia di sisa umurnya, lo juga yang bilang kalo Zaki butuh keluarganya.”
“Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”
“Gue cuti”
“Papi mengizinkan?”
“Tentu saja, tapi apa gue… boleh tinggal di sini?”
“Nanti aku akan bertanya pada Amir, lagi pula Zaki tinggal di kamar sendirian.”
“Ya udah, gue tinggal bareng Zaki aja. “
Aku tersenyum, begitupun dengan Anwar. Rasanya setengah bebanku telah menghilang begitu melihat Anwar, kami bisa saling berbagi sebagai keluarga dan kami bisa saling menjaga sebagai keluarga.
“Apa Papi tidak akan menjenguk Zaki?”
“Gue gak tau, sebenernya Mbo Inah sih yang merengek minta ikut tapi gue larang, emangnya kita mau piknik apa? Lagian lo kan masih numpang tinggal di rumah orang. Kenapa sih lo gak bikin rumah sendiri? Duit lo kan banyak, atau lo minta sama Papi pasti langsung dikasih.”
“Untuk apa kita membangun sebuah rumah jika yang kita dapat hanya kesunyian… sepi… dan sendiri.”
“Seperti kita?”
Aku tersenyum getir ”Yah seperti kita.”
11. Ada mentari di balik Kabut
Awan gelap menyelimuti musim semi yang hangat ini, angin gunung seolah berhembus untuk mendinginkan kepalaku. Hari - hari tanpa kepastian dengan doa panjang sepanjang malam, entah sudah berapa banyak tangis yang aku tumpahkan di hadapan Allah hanya demi kesembuhan Zaki. Aku masih berharap pada keajaiban melihat kondisi Zaki yang semakin lama semakin memburuk, bahkan Zaki harus menyucikan dirinya dengam bertayamum demi menghadap Allah.
Sepanjang hari aku terus berada di kamar Zaki bersama Mas Anwar, terkadang aku dan Zaki mengaji bersama walau kami akan menangis selesai mengaji. Aku baru melihat bagaimana Mas Anwar begitu mencurahkan kasih sayangnya pada Adik yang selama ini dibuang dari kehidupannya. Mas Anwar dengan setia menjemput dokter dari kabupaten setiap hari untuk memeriksa keadaan Zaki, dan dengan telaten menyuapi Zaki walau kadang - kadang aku minta bergantian menyuapinya, kami terlihat seperti keluarga yang harmonis walau tanpa Papi.
Satu orang yang tidak bisa aku abaikan adalah Amir. Entah bagaimana jadinya kalau suamiku itu bukan Amir. Mungkin dia akan marah karena aku lebih mementingkan adikku. Mungkin dia akan melarangku dekat dengan penderita AIDS, atau mungkin dia akan menceraikan aku? Tapi aku sangat beruntung memiliki suami sebaik dan sepengertian Amir, walau dia kadang - kadang mengingatkan aku agar jangan terlalu kecapean tapi dia tidak pernah melarangku untuk merawat adikku sendiri dan Umi … wanita yang sangat baik yang selalu menguatkan hatiku menghadapi masalah ini.
“Amir, Umi mulai mengkhawatirkan keadaan Nisa. bukankah bulan ini usia kandungannya sudah memasuki bulan sembilan? seharusnya dia banyak beristirahat.”
“Ananda sudah sering mengingatkannya Umi.”
“Umi khawatir kalau - kalau Nisa akan mengalami depresi jika Zaki harus dipanggil Allah, melihat betapa dia sangat mengasihi Zaki membuat Umi takut.”
“Insya Allah Nisa tidak akan seperti itu.”
“Mungkin Nisa merasa sangat bertanggung jawab atas Zaki, tapi kenapa Ayah mereka tidak ada bersama mereka?”
“Mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaannya.“
Umi menggenggam tangan Amir.
“Jangan pernah tinggalkan Nisa. Saat - saat seperti ini bukan hanya Zaki yang butuh perhatian, tapi juga istrimu.”
“Tentu ananda akan menjaganya, Umi.”
Umi tersenyum.
Anwar menatapku yang sedang duduk, perutku terasa sakit seperti mau ke kamar mandi, keringatku bercucuran. Kulihat zaki sedang tertidur.
“Lo gak apa – apa kan Dan?”
“Perutku sakit sekali Mas” aku memegangi pinggangku.
“Jangan - jangan lo mau melahirkan lagi.”
“Mungkin, aduh…aku tidak tahan lagi Mas.”
“Bentar yah Dan” Anwar berlari menemui Amir di kantornya, aku benar - benar merasa kesakitan kepalaku tiba - tiba pening dan aku tidak sadarkan diri
“Sepertinya Danisa mau melahirkan.”
“Apa?”
“Dia mengeluh kesakitan.”
“Ya sudah Ayo Mas” Amir sangat panik apa lagi ketika melihatku pingsan, dia langsung membopongku masuk ke dalam mobil milik Mas Anwar.
“Aku pinjam mobilnya yah Mas.”
“Pakailah.”
“Terima kasih. Oh iya aku hampir lupa tolong kabari Umi kalau Nisa ke rumah sakit.”
“Baiklah.”
Amir langsung menjalankan mobilnya, perjalanan yang cukup jauh membuatnya semakin panik, tapi Amir tetap tenang menyetir mobil. Begitu sampai di rumah sakit, Amir langsung membopongku dan beruntung Dokter langsung menanganinya. Setelah agak lama dokter memeriksaku, aku tersadar. Dokter keluar, Amir segera menemuinya.
“Bagaimana keadaan istri saya dok?”
“Dia baik - baik saja, hanya… keadaan istri anda sangat lemah untuk melahirkan.”
“Lalu bagaimana?”
“Kami sudah menyuntikan obat agar dia bisa kuat saat melahirkan nanti dan kita lihat perkembangannya dalam dua jam ke depan.”
“Terima kasih Dok. Apa saya boleh masuk?”
“Tentu saja.”
Amirpun segera masuk, aku mencoba tersenyum melihatnya. Dia menggenggam tanganku dan membelai pipiku.
“Tadi aku merasa sangat sakit, kamu pasti sangat panic.”
“Saat kamu tidak sadarkan diri aku sangat takut.”
Aku tersenyum bahagia mendengar ucapannya.
“Apa kata dokter?”
“Katanya keadaan kamu terlalu lemah untuk melahirkan.”
Tanpa terasa air mataku meleleh begitu saja, bayangan Mami saat berjuang mempertahankan Zaki dulu kembali terlintas di otakku. Apa aku akan bernasib sama seperti Mami? Lalu bagaimana nasib anakku nanti?
“Kenapa kamu menangis?”
“Aku akan berjuang demi anak kita.”
Amir tersenyum tenang.
“Tapi bagaimana kalau hanya salah satu dari kami yang bisa diselamatkan?”
“Aku akan memohon pada Allah agar kalian berdua selamat, tapi kalau Allah berkehendak lain aku belum tau.”
“Kamu akan menyayangi anak kita kan Mas?”
“Kamu jangan bicara seperti itu, seolah - olah kamu akan pergi meninggalkanku saja.”
“Aku takut Mas.”
Amir memelukku sangat erat. Udara dingin di luar menyusup di tengah malam berkabut menutupi kebekuan hati yang ketakutan. Jujur aku takut mati sekarang, tapi aku ikhlas menerima apapun keputusan akhir dari Allah atas apa yang terjadi padaku nanti. Umi pernah bilang saat kita melahirkan itu sama saja seperti kita sedang berjihad di jalan Allah.
Zaki terbangun jam dinding menunjukkan jam dua dini hari, dilihatnya Anwar tertidur di sampingnya. Zaki membangunkan Anwar. Anwar segera melihat adiknya.
“Aku mau ke kamar mandi Mas, tolong Bantu aku bersuci.”
“Bukannya lo bisa bertayamum?”
“Kali ini aku ingin bersuci saat bertahajjud.”
“Baiklah” Anwar membopong tubuh Zaki yang tinggal tulang dan kulit saja masuk ke kamar mandi. Di sana Zaki mulai mengelap sebagian tubuhnya lalu berwudhu. Anwar merasakan keanehan pada diri Zaki. Akhir - akhir ini Zaki mengeluh kedinginan bahkan kami harus mencampurnya dengan air panas untuk membasuh tubuhnya, tapi apa yang dilihatnya sekarang jauh berbeda dengan apa yang pernah Zaki ucapkan. Normalnya jam - jam segini suhu udara semakin dingin tapi Zaki tak nampak kedinginan sama sekali.
Anwar kembali membopongnya dan membaringkannya di atas kasur tapi Zaki minta diturunkan, di atas lantai saja.
“Aku ingin mencium sajadah saat menghadap Allah dan menundukkan kepalaku Mas.”
“Baiklah” Anwar menuruti keinginan adiknya.
“Mas….. mungkin aku banyak berbuat salah padamu, maafkanlah aku.”
“Gue lagi yang salah.”
“Aku sudah tenang melihat Mba Nisa berada di tangan yang tepat, mungkin aku terlalu egois tapi aku ingin kelak di akhirat kita kembali bisa berkumpul menjadi satu keluarga. Aku berdoa agar kelak ada seseorang yang menuntun Mas Anwar kembali ke jalan Allah” Zaki tersenyum.
“Terima kasih Mas. Aku sayang kalian semua, tolong sampaikan maafku pada Papi, karena selama ini aku selalu membuat Papi menderita.”
“Lo ngomong apaan sih Zak?”
“Aku merasa kalau waktuku tidak akan lama lagi, di dalam lemariku ada sebuah kotak, tolong berikan pada Mba Nisa, karena aku tidak bisa berpamitan padanya.”
Mata Anwar berkaca - kaca mendengarnya.
“Aku sholat dulu Mas, apa mas mau ikut berjama’ah?”
“Lo aja yang sholat, gue nungguin lo aja.”
Zaki tersenyum kemudian menggelar sajadahnya menghadap kiblat dan mulai mengerjakan rakaat pertamanya. Sedang Anwar hanya mampu menangis melihat adiknya dengan susah payah mengerjakan sholat sunah tersebut.
Pagi yang berkabut semakin menutup hati Anwar. Dalam kebekuan yang nyata, dia masih terpaku menatapi tubuh Zaki yang sedang duduk sambil memeluk Al-Qur’an di dadanya. Zaki terlihat begitu tenang, mentari pagi jatuh tepat mengenai wajahnya yang terlihat pucat, Mungkin Allah ingin menghangatkan tubuh Zaki yang sudah kaku. Perlahan Anwar mengambil ponselnya lalu memencet serangkaian nomor yang paling sering dia hubungi.
“Hallo!”
Anwar masih terdiam mendengar suara itu.
“Anwar ada perlu apa?”
“Zaki… Dia…” Kata - katanya terhenti mendengar bunyi telephone diputus. Air matanya mengalir begitu saja tanpa kuasa dia membendungnya.
Sore harinya Papi muncul, dia terlihat begitu tenang. Banyak orang yang menatap kehadiran Papi dengan rasa keanehan. Papi mendekati Anwar lalu menepuk bahunya.
“Kenapa belum dikubur?”
“Menunggu Danisa.”
“Danisa mana?”
“Dia di Rumah sakit, mungkin mau melahirkan.”
“Ya sudah kubur saja sekarang”
“Tapi Pih… Danisa yang selama ini merawatnya, dia pasti akan kecewa kalo tidak melihat wajah Zaki untuk yang terakhir kalinya.”
“Kuburkan sekarang! Bukankah dia sudah meninggal? Untuk apa lagi kita menunggu?”
Anwar menatap Papi tidak mengerti dan terpaksa menuruti perintah Papinya. Selesai acara pemakaman, Papi langsung pamit pulang, walau Abah dan Umi sempat mencegahnya.
“Maafkan saya, tapi saya harus segera pergi” katanya sambil berlalu masuk ke dalam mobil kemudian sopir menyalakan mesin mobilnya. Papi masih terpaku sendirian di jok belakang dan tanpa terasa air matanya jatuh.
“Kenapa aku harus menangis? Aku membencinya! Aku membencinya! Aku membencinya! Untuk siapa aku menangis? Dia bukan darah dagingku jadi untuk apa aku menangisinya. Andai aku bisa mengatakan pada Anwar dan Danisa kalau Zaki itu bukan adik kandung mereka dan kebencianku selama ini sangat beralasan padanya. Karena kehadiran dialah istriku pergi, karena kehadiran dialah kehidupan kami tidak bisa tenang, karena kehadiran dialah aku selalu teringat akan perselingkuhan istriku sendiri. Haruskah aku menangisinya? Tapi aku tetap tidak bisa untuk tidak menangis Tuhan” gumam Papi dalam hatinya.
Aku kehilangan banyak darah saat melahirkan, sehingga aku tidak sadarkan diri. Umi datang ke rumah sakit menjelang malam.
“Bagaimana keadaan Nisa?”
“Masih lemah Umi, sejak semalam dia belum juga sadarkan diri. kenapa Umi baru kesini? Apa Umi baru diberitahu Mas Anwar?”
“Sebenarnya….. semalam Zaki meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inailaihi roji’un” gumamnya. ”Lalu bagaimana dengan Nisa kalau mengetahui kabar ini?”
“Umi sendiri tidak tahu.”
“Apa Zaki sudah dikubur?”
“Tadi pagi langsung dikubur, tadinya mau menunggu Nisa tapi… keadaannya tidak memungkinkan.”
Amir menghela nafas berat, dia memikirkan apa yang akan terjadi padaku jika mengetahui kabar itu.
“Kasihan sekali Nisa, dia tidak bisa melihat wajah Zaki untuk yang terakhir kalinya. Apa Ayahnya datang?”
“Iya, tapi langsung pergi lagi.”
Aku berdiri tepat di sebuah lahan kosong yang hijau, sangat sepi… dan sunyi. Tiba - tiba tanganku digenggam seseorang ternyata Zaki, dia terlihat sangat tampan dengan baju putih - putih yang dikenakannya, wajahnya sangat bersinar seterang bulan purnama membuatku terpesona. Dalam keteduhan wajahnya kemudian Zaki mencium tangan kananku.
“Aku pamit Mba.”
“Kamu mau kemana Zak?”
“Aku harus pergi.”
Aku menggeleng cepat.
“Kamu gak boleh pergi Zak, kamu jangan tinggalkan Mba.”
“Mba… kita berjumpa dan inilah ujung perjumpaan kita, tolong ikhlaskan kepergianku.”
Aku menggeleng cepat sambil menangis, kulihat Zakipun menangis.
“Aku tidak akan bisa melanjutkan perjalananku menuju alam berikutnya jika Mba belum bisa mengikhlaskan kepergianku. Tolong Mba… ikhlaskan kepergianku.”
“Zaki… Zaki… Jangan tinggalkan Mba…”
Amir yang sedang mengaji segera mengusap kepalaku melihat aku menangis sambil memanggil - manggil nama Zaki dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Astaghfirullah haladzim, Nis… Sadar” Amir meniup ubun - ubunku, tapi tetap aku belum sadarkan diri.
“Zaki… Zaki… Zaki…”
“Nisa… Sadarlah…” Amir mulai menangis ketakutan.
Aku merasakan ada cairan yang membasahi keningku, kubuka mataku dari tidur yang cukup lama. Amir tersenyum melihat aku membuka mataku, dia langsung memelukku dengan erat. Tiba - tiba saja air mataku kembali mengalir, tapi Amir segera menghapusnya.
“Subhanallah Nisa.”
Aku mencoba tersenyum sambil mencerna apa maksud mimpiku barusan. Amir kembali memelukku,
“Apa Zaki sudah pergi?” tanyaku setengah berbisik di telinganya.
Amir menatapku lalu menyentuh pipiku dengan kedua tangannya, matanya masih berkaca – kaca.
“Benar, dia sudah pergi meninggalkanku Mas?”
Amir tersenyum lalu mengangguk, satu tetes air matanya jatuh ke atas pipiku. Amir berbaring di sampingku sambil memeluk tubuhku.
“Kalau mau menangis aku izinkan, tapi seterusnya jangan ada lagi tangis yang akan membuatku bersedih” bisiknya.
Aku melirik lalu tersenyum.
“Apa dia sudah dikubur?”
“Menangislah” bisiknya.
Sepanjang malam aku tidak bisa memejamkan mataku, bayangan Zaki terus berkelebat dalam otakku hingga subuh dini hari. Amir terpaksa tidak mengaji hanya untuk menemaniku. Mungkin aku akan merasakan kehilangan, tidak akan ada lagi seseorang yang menemaniku dengan senyum dan wajah sendu yang sering Zaki perlihatkan padaku, tapi hidupku harus terus berjalan kan? Ada malaikat kecil yang akan menungguku. Aku baru menyadari kalau aku sudah berlaku tidak adil pada seseoarang, karena memikirkan Zaki aku lupa bahwa aku memiliki seseorang.
“Nis, istirahatlah!” Amir dengan lembut membelai rambutku.
“Bagaimana keadaan anak kita Mas?”
“Dia sehat.”
“Syukurlah, apa aku bisa melihatnya sekarang?”
“Dia sedang tidur.”
“Dia laki - laki atau perempuan Mas?”
“Perempuan, cantik seperti Uminya. Aku berharap kelak dia seperti kamu Nis.”
“Aku ingin dia sepertimu saja Mas, jangan sepertiku.”
“Kenapa?”
Aku menggeleng.
“Kamu tidak akan meningalkanku kan Nis? Kita akan merawat dia bersama - sama kan?”
Aku tersenyum sangat tipis, entah Amir melihatnya atau tidak. Perlahan aku menutup mataku, rasanya seluruh tubuhku harus benar - benar beristirahat setelah apa yang aku lakukan untuk Zaki. Aku merasa doaku selama ini sia - sia saja pada Tuhan. Tuhan tidak mengabulkan doaku. Mungkin Tuhan tidak menyayangiku. Dan meninggalkan aku sendirian di tempat asing ini.
Umi dan Amir masih menatap tubuhku yang terbaring lemah di atas kasur, kemudian Anwar masuk beserta Mba Latifa dan Iman. Melihat wajahku yang pucat, Anwar maju mendekatiku dan membelai keningku, timbul perasaan takut jika aku akan meninggalkannya seperti Zaki.
“Keadaannya bagaimana?”
“Baik. Semalam dia sadar.”
Anwar menatap Amir.
“Apa dia bertanya tentang Zaki?”
Amir mengangguk.
“Dia bertanya apa Zaki sudah pergi?”
“Kasihan sekali lo Dan.”
Aku merasa ada seseorang yang mengusik tidurku, kubuka mataku perlahan dan dengan samara, kulihat wajah Anwar yang sedang menyeka air matanya. Aku mencoba tersenyum begitupun dengannya. Ternyata aku salah… Tuhan masih sangat menyayangiku dengan memberiku seorang abang seperti Mas Anwar padaku.
“Aku baik - baik saja Mas” kuraih tangan Mas Anwar.
“Lo cepet sehat yah Dan. Biar lo bisa balapan lagi, kebut - kebutan lagi, kejar - kejaran sama polisi lagi…”
“Aku tidak mau mati konyol di jalan raya, aku ingin pergi seperti cara Zaki pergi.”
“Emang lo tahu Zaki udah pergi?”
“Aku ikhlas melepaskannya Mas, itu yang Zaki minta dariku.”
Anwar menatapku, matanya berkaca - kaca lalu cepat memelukku. Aku rasa dia menangis cukup lama sebelum akhirnya melepaskan pelukan yang cukup erat. Suster masuk menggendong sesuatu yang berbalut kain putih, dia menyerahkannya pada Amir, lalu Amir menyerahkannya padaku. Ku dengar tangisannya yang membuatku merasa hidup.
“Mas lihat, dia putriku. Sayang… Lihat paman kamu.”
“Cantik. Secantik Ibunya.”
Aku tersenyum.
“Dulu Zaki sering mengelus kamu, dia sering bertanya kapan kamu keluar? Sayang…dia ….”
Amir langsung memelukku, tapi aku mencoba untuk tidak menangis walau nanti aku akan menangis jika sedang sendirian. Karena Amir tidak akan mengizinkan aku menangis di depan orang lain kecuali dirinya.
Kehidupanku sudah berubah dan aku harus kembali menatanya. Aku tidak mau terlalu lama bersedih karena itu hanya akan membuatku semakin sakit dan itu akan membuat Zaki tidak tenang. Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin Zaki bahagia karena melihatku berbahagia di dunia, aku ingin Zaki tahu bahwa aku benar - benar sudah mengikhlaskannya pergi menghadap Allah.
Kulihat Mas Anwar menuju rumah sambil membawa koper yang dulu dia bawa saat memutuskan untuk merawat Zaki, aku tersenyum menyambutnya. Dia mencium keningku, kupersilahkan dia duduk. Sepi… menyelimuti ruangan ini, di antara kami hanya saling diam. Aku belum mau berpisah dengan Mas Anwar.
“Lo baik - baik aja kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Apa hari ini Mas akan kembali ke Jakarta?”
“Iya. Papi meminta gue segera kembali, lagi pula gue udah gak punya urusan lagi di sini.”
“Apa Mas akan sering mengunjungiku?”
“Tentu saja, karena sekarang cuma lo adik gue.”
Aku menghela nafas mencoba tenang melepas Mas Anwar pulang ke Jakarta.
“Ya… Sudah, Hati - hati di jalan.”
Anwar mengambil sesuatu dari dalam kopernya lalu diserahkan padaku, aku menerimanya dengan perasaan aneh.
“Ini apa Mas?”
“Sebelum pergi… Zaki meminta gue untuk menyerahkan itu pada lo, dia bilang ingin berjumpa kita lagi di akhirat sebagai satu keluarga.”
Mataku berkaca - kaca mendengarnya, tapi aku mencoba untuk tidak menangis.
“Gue cabut yah” Anwar berdiri dan mengelus kepalaku yang berjilbab sebelum pergi meninggalkanku sendirian.
Aku masuk ke dalam kamar, kutaruh benda itu di atas meja. Beberapa kali aku menghela nafas. Apa aku sudah siap untuk membukanya? Keraguan itu muncul namun segera aku tepis. Aku harus siap!
Akupun membukanya, ternyata berisi sebuah Al-Qur’an terjemah dan satu buah kerudung, aku tidak bisa untuk tidak menangis. Kuambil sebuah buku yang juga terdapat di sana. Ku buka halaman pertama, di sana tertulis Basmallah dan di bawahnya tertulis
Untuk seseorang yang tak sempat kutemui, namun aku sayangi.
Kubuka lagi halaman berikutnya.
Seumur hidupku aku hanya memiliki seseorang. Danisa Nurlaila itulah nama seseorang yang akan selalu menemani langkah kecilmu kelak. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu dulunya memiliki seorang paman yang kini telah berpulang kehadapan Allah,aku ingin berwasiat padamu keponakanku yang tak pernah berjumpa ”Jagalah Ibumu, jangan pernah sakiti hatinya karena dia sangat menyayangimu”
Aku hanya bisa memberimu buku kecil ini sebagai hadiah dariku atas kehadiranmu didunia ini.Aku ingin buku ini selalu menemani hari-harimu kelak sebagai pengganti pamanmu yang tak bisa menemanimu.
Zaki Abdillah
Aku menutup buku itu. Rasanya ada yang membuatku kuat, bahwa Zaki akan selalu ada bersamaku dan juga putriku.
Mentari akan terus bersinar memberikan kedamaian bagi orang - orang yang mau bersyukur dan menyadari, mengintropeksi diri dalam sujud panjang tahajjud malam. Zaki selalu berdoa agar aku diberi hidayah, tapi aku baru menyadari bahwa hidayah itu tidak akan menyapa kita jika kita sendiri tidak pernah berpikir untuk mendapatkannya. Kematian Zaki adalah kepastian yang akan menyapa makhluk yang memiliki hidup namun dengan cara yang berbeda – beda. Tinggal kita yang menentukan bagaimana cara kita mau menghadap Allah? Apa akan bersimbah dosa atau berlimpah pahala.
Sekali lagi aku menangis di sini, di dalam kamar yang menjadi saksi bisu kehidupanku dalam pertaubatan, menyesali apa yang sudah aku lakukan dahulu.
******* SELESAI *******